Konflik di Suriah dan Irak, Konflik Sunni Vs Syiah?
Konflik di Suriah
'Tuduhlah dia Syiah, kau boleh menimpakan apa saja atas dia' seakan menjadi jargon dan doktrin manjur yang secara cepat mampu mengubah seorang yang santun jadi beringas, yang kalem jadi sadis. Bashar Asad yang secara ideologis adalah sekularis sosialis nasionalis dan secara kultural Alawit (bukan Syiah Imamiyah yang lazim disebut Syiah saja) ditampilkan secara masif dan manipulatif sebagai seorang Syiah yang membantai rakyatnya sendiri hanya karena bermazhab Sunni.
Yang menarik, saat Saddam Husein yang sehaluan dan seideologi dengan Asad membantai puluhan ribu warganya yang mayoritas Syiah tidak pernah ditampilkan oleh kaum Syiah di Irak dan dimana pun sebagai diktator Sunni yang membantai warganya karena kesyiahan mereka. Tapi apa harus dikata, konflik politik dan konspirasi untuk menumbangkan Asad disulap dalam pemberitaan yang intensif sebagai konflik sektarian Sunni versus Syiah. Israel yang lebih dari 6 tahun menjajah Palestina dan mempermalukan bangsa Arab dibiarkan bahkan mulai diterima sebagai bagian dari sekutu.
Bashar Asad bukanlah pemimpin tanpa cacat yang mewarisi dosa politik ayahnya, Hafez Asad, terutama terhadap Ikhwanul Muslimin di Hama. Toh, kesalahan dan kejahatan para pemimpin Arab lainnya jauh lebih banyak. Tapi jelaslah, ini bukan persoalan politik antara Pemerintah Bashar Asad dan oposisi dalam negerinya, tapi persoalan politik tingkat tinggi yang areanya melampaui batas georafis Suriah bahkan bukan hanya kawasan Timur Tengah tapi konflik dua kutub besar; kubu konservatif Barat di bawah AS, Uni Eropa (UE), Israel dan sekutunya di dunia Arab, dan kubu progresif Timur yang dikawal oleh Rusia, China, Suriah, Iran dan faksi-faksi anti proposal perdamaian AS.
Apa yang terjadi di Suriah semula adalah efek dari perubahan politik di sejumlah negara Arab yang kerap disebut "Arab Spring". Pada dasarnya penentangan terhadap kebijakan-kebijakan politik dan ekonomi Asad adalah sebuah proses dinamika politik yang wajar. Namun, ia terlanjur dilukiskan sebagai konflik sektarian. Akibatnya, banyak orang di seluruh negara Islam, termasuk Indonesia, yang tersetrum oleh provokasi dan ujar kebencian yang dilakukan secara sistematis, menganggap perlawanan terhadap Pemerintahan Bashar sebagai jihad.
Konflik di Irak
Saat partai dan koalisi Nouri Maliki menang mutlak dalam pemilihan legislatif Irak, faksi politik yang didukung oleh sejumlah negara Teluk Persia, berupaya menggagalkan kemenangan tersebut. Kemenangan Nouri Maliki dianggap sebagai kemenangan faksi politik yang dicurigai berafiliasi ke Iran. Itu berarti kekuatan Iran, sebagai negara yang mendukung perlawanan bersenjata terhadap Israel, anak emas AS dan rezim-rezim monarki di Timur Tengah, yang juga berhasil diyakinkan oleh AS untuk memindahkan taget kebenciannya dari Israel ke Iran. Belakangan, tekuak hubunga antara serangan ISIL dan AS dan tiga sekutu utamanya, setelah Obama menghimbau Nouri Maliki mundur (Wall Street Journal, 19/6/2014).
Ada beberapa fakta yang bisa menjadi alasan utama di balik kebencian rezim-rezim kerajaan itu terhadap Iran; Pertama, Iran, dengan sistem republik bisa menyebarkan trend anti monarki dan kesadaran untuk merengkuh kebebasan berpolitik di tengah masyarakat Arab, terutama di negeri-negeri Teluk yang dibangun diatas tribalisme. Kedua, menguatnya Iran karena kemajuan teknologinya dan independensinya meski mengalami kerugian ekonomi akibat sikap dan pendiriannya, terutama terkait dengan program nuklir. Ketiga, Ssbagai negara non Arab, Iran secara kasat mata mempunyai pengaruh luas baik secara geopolitik (karena mengusai sebagian besar wilayah Teluk Persia) maupun kultural dan intelektual terutama di Irak, Suriah dan Lebanon. Sentimen rasialisme kadang menjadi tendensi primordial yang membuat Iran selalu diperlakukan sebagai “musuh bersama” di mata rezim-rezim Arab di Teluk Persia. Keempat, secara ekonomi Iran merupakan rival yang dikhawatirkan mampu mengurangi pasar negara-negara Teluk, terutama pasar minyak dan gas alam. Fakta-fakta ini cukup menjadi alasan bagi negara-negara anti demokrasi itu untuk bersikap negatif terhadap Iran, siapapun presidennya, meski tak sekalipun Iran menunjukkan sikap negatif.
Di sisi lain, posisi Iran yang selalu menolak dikte dan tekanan AS dan Barat, terutama dalam proyek pengembangan teknologi nuklir, dan dukungannya terhadap Hezbollah juga Hamas di Gaza menjadi alasan utama bagi AS dan Barat untuk melakukan tekanan politik melalui rezim-rezim sekutunya yang bersebelahan dengannya.
Fakta lain, selama Saddam berkuasa, Syiah yang merupakan mayoritas tipis, mengalami diskriminasi dan represi. Namun sejak kejatuhan Saddam dan diberlakukannya pemilihan umum, sesuai dengan hukum demokrasi, meski tersebar dalam banyak partai yang berbeda-beda, politisi-politisi bermazhab Syiah memegang sebagian jabatan dalam pemerintahan.
Semula Nouri Maliki adalah politisi yang “direstui” oleh AS. Namun sikap dan kebijakan-kebijakannya mulai dianggap lebih mengakomodasi Iran dan memberinya keleluasaan untuk menancapkan pengaruh politik dan ekonomi dalam Irak. Dengan kata lain, rezim-rezim Arab sekutu AS tidak akan pernah rela bila mayoritas Syiah memegang pemerintahan negeri kaya minyak itu, siapapun pemimpinnya dan betatapun elektabilitasnya. Nah aksi pemboman dan aksi teror lainnya yang hampei setiap hari menggunang Baghdad dan kota-kota lainnya di Irak yang telah merenggut setengah juta nyawa warga sipil (yang sebagian besar bermazhab Syiah) dan tentara serta polisi sejak kejatuhan Saddam dianggap tidak memberikan pengaruh yang cukup kuat untuk menciptakan kekacauan dan konflik sektarian yang sangat luas demi membuyarkan sistem pemerintahan demokrasi di negeri 1001 malam itu.
Skenario menggoyang Nouri Maliki tidak hanya diimplentasikan melalui aksi pemboman dan terror, namun juga diterapkan dalam pembusukan politik, pembunuhan karakter dan kampanye hitam. Begitu massif kampanye hitam yang dilancarkan untuk mengubur karir politik Nouri Maliki, banyak media dan pengamat politik memastikan bahwa Nouri Maliki akan mengalami kekalahan telak. Namun, keemangan mutlak Nouri dalam pileg yang baru diselenggarakan merupakan pukulan telak dan kejutan yang menyakitkan bagi mereka.
Kendati demikian, Nouri Maliki memang punya banyak kritik dan protes dari pihak Sunni di Irak. Tapi hal itu tak unik hanya Sunni dan bukan soal sentimen Mazhab karena sebagian besar ulama Syiah di Irak bahkan Marja besar di Irak Sayyid Ali Sistani juga menyimpan kritik terhadap Nouri Maliki. Tapi soal-soal tersebut adalah masalah politik dalam negeri Irak yang punya kepentingan-kepentingan pragmatisnya.
Bukan Konflik Sektarian
Konflik di Suriah dan Irak bukan konflik mazhab antara Sunni dan Syiah. Yang terjadi adalah terjadi mobilisasi pemberontak bersenjata dengan rekrutmen bersifat transnasional berpaham takfiri yang cenderung hitam putih dalam beragama dan mengkafirkan siapa saja yang berbeda dengan mereka baik Sunni atau Syiah serta Kristen demi membentuk utopia politik Daulah Islamiyyah di Irak dan Shams (Suriah dan sekitarnya).
Sponsor senjata dan logistik di belakang DAIS/ISIL awalnya Arab Saudi, Qatar, Yordan, Israel dan AS dengan kepentingannya masing-masing. Meskipun pada perjalanannya AS dan Qatar berusaha menarik diri karena merasa tak bisa mengontrol sepak terjang DAIS atau ISIL ini.
Kenyataannya Sunni dan Syiah sama-sama dibantai di Suriah dan Irak oleh pemberontak bernama DAIS atau ISIL ini. Ulama Sunni tak sedikit yang dibunuh hanya karena menyerukan persatuan dan menolak untuk mengikuti logika pemberontak bersenjata ini.
Warga Sunni di Irak seperti juga warga Syiah sama-sama jadi korban kebengisan DAIS tak terbantahkan. Situs-situs yang dihormati Sunni maupun Syiah utamana seperti Syekh Abdul Qodir Jaelani mereka rusak. Suku Kurdi di Irak pun menjadi korban kebengisan DAIS.
Sunni dan Syiah adalah realitas intelektual, kultural, sosial, politik, yang merupakan bagian dua unsure utama pembentuk peradaban Islam. Sunni dan Syiah adalah dua persepsi relatif yang terstruktur tentang mekanisme mendekati wilayah kesucian.
Agar terjamin bebas dari distorsi, dimunculkanlah konsep 'adâlah al-shah¬Ã¢bah (kredibilitas sahabat) yang menetapkan bahwa para sahabat Nabi itu kredibel yang tanpa menyebut kesucian pun sudah memberikan konsekuensi adanya imunitas para sahabat. Posisi mereka sebagai penghubung antara umat dengan Nabi. Begitu pula dengan Syiah, untuk menjamin bahwa agama yang dipahaminya itu adalah benar seratus persen atau tidak berbeda dengan yang disampaikan oleh Nabi, maka muncullah konsep kesucian.
Dan karena itu pula, muncullah ragam pemahaman dan penafsiran di tengah umat. Pemahaman dan penafsiran di tengah umat selamanya tidak suci dan tidak mutlak. Pemahaman dan penafsiran yang nisbi inilah yang disebut mazhab.
Umat Islam (Sunni dan Syiah) sama-sama memahami adanya penghubung antara umat dengan Nabinya, karena Nabi adalah seorang yang mutlak benar. Persoalannya adalah ada orang-orang tertentu yang menolak hukum relativitas ini, baik implisit maupun eksplisit dengan mengatakan bahwa apa yang dipahaminya tentang al-Quran dan al-hadis itu persis sebagaimana yang diterima oleh Nabi. Hal ini terjadi baik di kalangan Sunni maupun Syiah. Bila kesadaran tentang relativisme ini tidak ditujmbuhkan, fanatisme dan ekstrimisme tak bisa dihindari. Seandainya sejak awal diyakini bahwa wahyu itu suci, dan itu mutlak, maka intoleransi dapat diminimalisisasi.
Pemberitaan yang tidak Cermat
Media nasional di Tanah Air pada umumnya mewakili kelompok sekuler yang diyakini mendukung toleransi dan pluralisme serta radikalisme. Namun saat menyajikan berita tentang Suriah dan Irak, sebagian media tak bernuansa agama itu terlihat mengabaikan asas kesimbangan, terkesan tendensius dan mengompori, bahkan menggunakan sejumlah frasa yang bisa dikategorikan SARA, terutama dalam pemberitaan tentang Suriah dan Irak. Media nasional menggunakan diksi "milisi Sunnah" "pejuang Sunni" bahkan "Mujahidin Sunni" dalam pemberitaan untuk memberi atribusi kepada pemberontak bersenjata DAIS/ISIL.
Sikap media nasional yang menggambarkan konflik di Irak sebagai konflik sektarian sungguh tidak cermat, berbahaya dan kekurangan pendalaman empiris dan konteks. Ada konsekeunsi yang sangat fatal jika media mengunyah begitu saja liputan kantor berita asing yang punya bias dan misi propagandanya masing-masing.
Media nasional kita harus punya kecermatan dan lebih bekerja keras mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Irak sehingga dapat sampai pada fakta bahwa semenjak DAIS atau ISIL memasuki Irak, menduduki Anbar, Samarra dan terutama Mosul, Nouri Maliki kontan mendapat dukungan penuh rakyat dan kekuatan sosial politik Sunni, Syiah, Kurdi dan Kristen di Irak atas nama kedaulatan Irak. Berduyun-duyun warga mendaftarkan diri menjadi sukarelawan perang untuk mengusir DAIS/ISIL.
Sumber : Islamtimes
Post a Comment