Header Ads

test

Legitimasi Kekuasaan Pada Masa Kegaiban Imam Mahdi




Seluruh bangsa dan aliran, mulai dari bangsa Yunani, Iran, hingga agama Hindu, baik pra maupun pasca Islam, menilai keberadaan sebuah sistem negara adalah suatu hal yang niscaya bagi sebuah masyarakat. Menurut mereka, masyarakat tanpa negara tidak akan bisa menjadi sebuah masyarakat yang kokoh dan abadi.

Hanya ada sebuah kelompok dari kalangan Khawarij bernama ‘Ajaridah yang berkeyakinan negara tidak diperlukan. Ketika mereka memprotes Imam Ali bin Abi Thalib as dengan pernyataan la hukma illa lillah, maksud mereka adalah negara.

Sebenarnya kelompok ini tidak memahami maksud ayat yang menegaskan inil hukm illa lillah. Mereka menyangka bahwa hak untuk memerintah dan menjalankan roda negara adalah hanya hak Allah. Padahal hak yang hanya dimiliki oleh Allah adalah hak menentukan hukum dan syariat, bukan hak menjalankan roda negara. Seseorang yang ingin menjalankan roda negara harus berada di tengah masyarakat dan berasal dari jenis mereka. Allah tidak berjisim dan tentu Dia tidak bisa tampil di tengah masyarakat.

Sebagian kelompok dari Marksisme memiliki keyakinan lain. Menurut mereka, apabila perbedaan kasta sudah sirna, maka kita tidak lagi memerlukan negara. Maksud mereka dari perbedaan kasta adalah seluruh masyarakat memiliki satu pendapatan dan satu jenis kehidupan.

Tetapi, pandangan ini secara praktis terbukti batil. Kaum marksis telah berhasil menghilangkan perbedaan kasta selama bertahun-tahun. Tetapi, negara Uni Sovyet masih tetap eksis kala itu.

Mereka membayangkan bahwa perbedaan kasta meniscayakan kita untuk membentuk sebuah negara. Padahal, seandainya perbedaan kasta pun sudah musnah dari tengah masyarakat, fasilitas untuk sebuah pertikaian dan pertentangan sangat beraneka ragam. Egoisme dan fanatisme bisa menyulut api peperangan. Untuk itu, kita tidak memiliki jalan lain untuk menjamin keamanan kecuali dengan membentuk sebuah negara.

Imam Ali as dalam sebuah hadis menekankan keniscayaan negara ini. Ketika mendengar Khawarij Nahrawan meneriakkan slogan la hukma illa lillah, beliau berkata, “Sebuah ucapan yang hak, tetapi dimaksudkan untuk sebuah kebatilan. Ya. Tiada hukum kecuali untuk Allah. Tetapi, maksud mereka adalah menjalankan roda negara adalah hak Allah. Padahal, setiap masyarakat pasti memerlukan sebuah pemimpin, baik pemimpin yang baik maupun pemimpin yang jahat ....” (Nahj al-Balaghah, khutbah no. 40)

Untuk itu, keberadaan seorang pemimpin sangat diperlukan sekalipun ia seorang yang jahat. Seorang pemimpin jahat supaya bisa berkuasa harus menjamin keamanan rakyat, membangun kesejahteraan, dan mencegah kelancangan musuh. Untuk itu, keberadaan seorang pemimpin jahat jelas lebih baik dibandingkan keberadaan sebuah masyarakat tanpa pemimpin.

Pertanyaan yang muncul sekarang adalah bagaimana metode negara Islam dalam menjalankan roda negara?

Dalam kitab-kitab fiqih Ahli Sunah disebutkan enam belas tata krama untuk memasuki WC. Semua tata krama ini diriwayatkan dari Rasulullah saw. Lalu apakah mungkin Rasulullah saw tidak menyebutkan tata krama menjalankan roda negara yang jelas lebih memiliki urgensi dibandingkan WC? Dengan demikian, pandangan yang menyatakan bahwa Rasulullah saw tidak pernah menyabdakan tata krama menjalankan roda negara adalah sebuah pandangan yang batil.

Dengan menelaah al-Quran dan hadis bisa kita pahami bahwa metode yang digunakan oleh Islam untuk menentukan seorang pemimpin sebagai langkah pertama metode menjalankan roda negara adalah metode penentuan nas.

Metode ini berbeda untuk masa kehadiran dan masa kegaiban imam maksum as. Pada masa kehadiran, seorang imam maksum menentukan imam setelahnya dengan menentukan nama dan keturunannya.

Sebagai contoh, Rasulullah saw ketika ingin menentukan kepemimpinan Imam Ali as bersabda, “Barang siapa yang menjadikanku sebagai pemimpinnya, maka Ali ini adalah pemimpinnya.” (Al-Amali, Syaikh Thusi, jld. 1, hlm. 308)

Begitu pula ketika ayat “sesungguhnya wali kalian hanyalah Allah dan rasul-Nya”, (QS. Al-Ma’idah : 55) Rasulullah saw menekankan bahwa ayat ini berkenaan dengan Imam Ali as. (Terjemah Tafsir al-Mizan, jld. 6, hlm. 4)

Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ahli Sunah seperti “Wahai Ali, kamu adalah wali untuk setiap mukmin dan mukminah” (Musnad Ahmad, jld. 1, hlm. 330) menunjukkan bahwa penentuan seorang imam pada masa kehadiran terlaksana dengan menentukan nama.

Syaikh al-Ra’is Abu Ali Sina dalam kita al-Syifa’ menulis, “Pemerintahan yang ditentukan dengan cara nas adalah lebih baik daripada pemerintahan yang ditentukan melalui syura, karena dalam cara pertama, pertikaian akan sirna dan orang lain tidak bisa melancarkan protes.” (Al-Syifa’, jld. 1, hlm. 452)

Pada masa kehadiran imam maksum as, sistem kehidupan yang dominan kala itu adalah sistem kabilah, dan penentuan segala sesuatu berada di tangan para kepala kabilah. Kala itu hanya tiga kabilah yang dominan: Aus, Khazraj, dan Muhajirin. Khazraj adalah mayoritas, sedangkan Muhajirin adalah kelompok minoritas. Seandainya penentuan pemimpin diserahkan kepada pemilu, maka yang menang pasti kabilah Khazraj sebagai pihak mayoritas. Jika Rasulullah menyerahkan urusan itu kepada sebuah syura, tentu syura tidak akan pernah terwujud, karena pandangan terakhir berada di tangan para kepala suku. Dan ini adalah sistem diktator mutlak.

Untuk itu, metode penentuan pemimpin pada masa kehadiran maksum adalah penentuan nas.

Periode Kegaiban

Metode penentuan pemimpin pada periode kegaiban adalah sama dengan metode penentuan pemimpin pada masa kehadiran. Perbedaannya adalah pada masa kehadiran, pemimpin ditentukan dengan menentukan nama. Tetapi pada masa kegaiban, ia ditentukan dengan menentukan kriteria: kriteria agama, etika, dan kehidupannya. Dengan kriteria ini, bisa diketahui seorang pemimpin harus memiliki kriteria yang harus dipenuhi.

Imam Amirul Mukminin Ali dan Imam Shadiq as pernah menjelaskan kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin. Menurut mereka, masyarakat memerlukan tiga hal. Jika tiga hal ini tidak terpenuhi dalam kehidupan, maka akan muncul kekacauan:

1. Seorang faqih yang alim dan wara’.

2. Pemimpin yang baik dan ditaati.

3. Dokter yang ahli dan terpercaya. (Tuhaf al-‘Uqul, al-Halabi, hlm. 321; Safinah al-Bihar, Syaikh Abbas Qomi, jld. 2, hlm. 78)

Hadis ini adalah salah satu contoh penentuan seorang pemimpin dengan penentuan kriteria.

Aneka Ragam Pemerintahan

Hingga di sini telah kita buktikan keniscayaan seorang pemimpin dalam sebuah masyarakat. Dalam Islam, pemimpin ini ditentukan dengan menentukan seorang tertentu pada masa kehadiran maksum atau dengan menentukan kriteria pada masa kegaiban.

Sekarang bagaimana bentuk pemimpin dan pemerintahan yang memiliki legalitas syar’i dan juga mempunyai akseptabelitas sosial?

Dalam hal ini ada empat asumsi yang bisa diutarakan:

a. Seorang pemimpin yang bertindak sebagai raja di tengah masyarakat. Al-Quran tidak pernah menerima bentuk pemerintahan seperti ini. Allah berfirman, “Sesungguhnya para raja ketika memasuki sebuah kota pasti akan merusaknya dan menjadikan penduduk yang mulia menjadi hina. Begitulah mereka melakukan.” (QS. Al-Naml : 38)

b. Pemimpin berasal dari kalangan elit masyarakat yang memiliki kelebihan dari sisi pemikiran dan rasiionalitas. Pemimpin semacam ini memiliki akseptabilitas sosial, tetapi tidak mempunyai legalitas syar’i. Setiap orang tidak memiliki hak untuk menggunakan harta dan kehormatan orang lain seperti masalah pajak dan lain-lain.

c. Pemerintahan dipegang oleh kalangan kaya. Tetapi kelaziman pemerintahan seperti ini adalah diktatorisme, karena kekayaan selalu membuat orang menjadi diktator.

d. Pemerintahan bersifat demokrasi. (Silsilah al-Masa’il al-‘Aqa’iidiyyah, Ja’far Subhani, jld. 9, hlm. 26)

Melihat tiga bentuk pemerintahan pertama tidak sejalan dengan kaidah Islam, untuk sementara ini umat manusia sampai pada sebuah kesimpulan bahwa pemerintahan harus bersifat demokrasi; pemerintahan rakyat atas rakyat.

Bentuk pemerintahan ini dari satu sisi adalah baik dan dari sisi lain adalah buruk. Dari sisi anti kediktatoran adalah suatu hal yang bisa diterima. Tetapi, dari sisi lain, umat manusia tidak memiliki hak untuk menggunakan harta, hak, dan harga diri orang lain. Kita semua adalah makhluk Allah, dan seluruh harta dan harga diri kita adalah milik-Nya. Untuk itu, jika pemerintahan demokrasi ingin memiliki legalitas syar’i di samping akseptabilitas sosial, maka pemerintahan ini harus direstui oleh Wali Faqih sebagai wakil Imam Mahdi as. Kontrol dan pengawasan Wali Faqih terhadap tiga kekuasaan negara: legislatif, yudikatif, dan eksekutif bisa memberikan legitimasi terhadap pemerintahan.

Dengan demikian, negara Islam memiliki dua pondasi yang sangat kokoh: pertama, Ilahi karena seluruh pilarnya dikontrol oleh Wali Faqih, dan kedua, demokrasi karena rakyat memiliki hak untuk memilih.

Penulis: Ayatullah Ja’far Subhani

No comments