Zakat Mall atau Mal?
Oleh: Muhsin Labib
Menjelang Lebaran, bukan mesjid yang bertambah ramai, namun pasar dan pusat perdagangan yang kian berjubel pembelinya. Apalagi bagi yang sudah menerima THR akan berhasrat lebih besar untuk memenuhi segala keinginan dan kebutuhan menjelang Lebaran sambil pamer saat mudik. Hampir tidak ada mal yang tak luput dari penuh-sesaknya para pengunjung. Entah cuma buat window shopping, rekreasi, makan, nonton, atau belanja. Ternyata yang berhari raya adalah para cukong…
Belanja, saat ini, sudah berkembang menjadi sebuah gaya hidup pada masyarakat kelas ekonomi tertentu dari segala usia. Dan, sebagai gaya hidup, belanja manusia modern seringkali tidak berhubungan dengan “apa yang dibutuhkan” tapi dengan “kutahu apa yang kumau”. Dengan kata lain, ia satu bentuk penegasan status sosial.
Bila perilaku konsumtif didukung oleh persediaan dana yang cukup, sebenarnya masih “wajar”. Yang berbahaya, jika keinginan berbelanja tidak didukung oleh penghasilan yang layak. Analoginya seperti rumah yang lebih besar pasak daripada tiang. Dapat dipastikan cepat atau lambat rumah itu akan roboh dan menimpa diri kita sendiri. Di sinilah fenomena korupsi mendapatkan “justifikasinya” sebagai satu jalan pintas menuju status sosial yang diinginkan. Iklan berbagai macam produk dengan berbagai cara dan gaya membuat pikiran kita selalu dicuci oleh para produsen barang-barang tersebut. Hampir tiada ruang dan waktu yang kosong dari iklan.
Para produsen pun berlomba-lomba membuat iklan kreatif yang memancing keingintahuan kita dan menggoda kita untuk mencobanya, kemudian membeli, dan akhirnya menjadi pelanggan. Stasiun televisi saat ini penuh dengan berbagai tayangan iklan yang menawarkan bermacam produk. Mulai produk-produk fashion, kecantikan, makanan, hingga tempat hiburan. Belum lagi majalah-majalah remaja yang makin banyak. Semuanya secara perlahan-lahan namun pasti, menuntun kita memasuki budaya konsumerisme.
Perilaku konsumtif secara berlebihan tidak hanya berdampak kepada kesehatan keuangan, namun juga dapat berdampak pada aspek psikologis, sosial, atau bahkan etika. Tidak sedikit orang yang merasa frustrasi karena tidak mampu memenuhi segala keinginan dan kurang mensyukuri keadaan. Sudah sewajarnya kita bersiap diri terhadap bombardir pesan-pesan iklan yang menyerang setiap waktu. Iklan-iklan yang serba bagus, cantik, dan mewah itu memengaruhi alam bawah sadar, sehingga kita dapat masuk dalam lingkaran budaya konsumtif dan menjadi pandir karena tidak bisa mengharmoniskan keinginan dan kemampuan.
Allah sangat keras mengancam orang yang berbuat mubazir dengan ancaman sebagai ‘evil brothers”. Idul Fitri di ambang pintu, membawa semangat kefitrian dan sertifikat kemenangan dari perang melawan nafsu, dan menanamkan tekad yang dahsyat untuk mencapai kehidupan yang baik sepanjang tahun. Arahkanlah wawasanmu lurus kepada Agama Allah, selaras dengan Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia sesuai fitrah-Nya. Tidak ada sesuatu perubahan dalam ciptaan Allah tadi. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (al Rum, 30).
Idul fitri berarti back to nature dengan segala sederhanaan dan kealamaiahannya. Idul fitri bukan parade busana mewah dan bagus. Idul fitri mestinya mejadi momentum zakat mal, bukan zakat Mall.
Semoga sikap boros dan konsumerisme tidak menodai kekudusan Hari kemenangan,Idul Fitri.
Menjelang Lebaran, bukan mesjid yang bertambah ramai, namun pasar dan pusat perdagangan yang kian berjubel pembelinya. Apalagi bagi yang sudah menerima THR akan berhasrat lebih besar untuk memenuhi segala keinginan dan kebutuhan menjelang Lebaran sambil pamer saat mudik. Hampir tidak ada mal yang tak luput dari penuh-sesaknya para pengunjung. Entah cuma buat window shopping, rekreasi, makan, nonton, atau belanja. Ternyata yang berhari raya adalah para cukong…
Belanja, saat ini, sudah berkembang menjadi sebuah gaya hidup pada masyarakat kelas ekonomi tertentu dari segala usia. Dan, sebagai gaya hidup, belanja manusia modern seringkali tidak berhubungan dengan “apa yang dibutuhkan” tapi dengan “kutahu apa yang kumau”. Dengan kata lain, ia satu bentuk penegasan status sosial.
Bila perilaku konsumtif didukung oleh persediaan dana yang cukup, sebenarnya masih “wajar”. Yang berbahaya, jika keinginan berbelanja tidak didukung oleh penghasilan yang layak. Analoginya seperti rumah yang lebih besar pasak daripada tiang. Dapat dipastikan cepat atau lambat rumah itu akan roboh dan menimpa diri kita sendiri. Di sinilah fenomena korupsi mendapatkan “justifikasinya” sebagai satu jalan pintas menuju status sosial yang diinginkan. Iklan berbagai macam produk dengan berbagai cara dan gaya membuat pikiran kita selalu dicuci oleh para produsen barang-barang tersebut. Hampir tiada ruang dan waktu yang kosong dari iklan.
Para produsen pun berlomba-lomba membuat iklan kreatif yang memancing keingintahuan kita dan menggoda kita untuk mencobanya, kemudian membeli, dan akhirnya menjadi pelanggan. Stasiun televisi saat ini penuh dengan berbagai tayangan iklan yang menawarkan bermacam produk. Mulai produk-produk fashion, kecantikan, makanan, hingga tempat hiburan. Belum lagi majalah-majalah remaja yang makin banyak. Semuanya secara perlahan-lahan namun pasti, menuntun kita memasuki budaya konsumerisme.
Perilaku konsumtif secara berlebihan tidak hanya berdampak kepada kesehatan keuangan, namun juga dapat berdampak pada aspek psikologis, sosial, atau bahkan etika. Tidak sedikit orang yang merasa frustrasi karena tidak mampu memenuhi segala keinginan dan kurang mensyukuri keadaan. Sudah sewajarnya kita bersiap diri terhadap bombardir pesan-pesan iklan yang menyerang setiap waktu. Iklan-iklan yang serba bagus, cantik, dan mewah itu memengaruhi alam bawah sadar, sehingga kita dapat masuk dalam lingkaran budaya konsumtif dan menjadi pandir karena tidak bisa mengharmoniskan keinginan dan kemampuan.
Allah sangat keras mengancam orang yang berbuat mubazir dengan ancaman sebagai ‘evil brothers”. Idul Fitri di ambang pintu, membawa semangat kefitrian dan sertifikat kemenangan dari perang melawan nafsu, dan menanamkan tekad yang dahsyat untuk mencapai kehidupan yang baik sepanjang tahun. Arahkanlah wawasanmu lurus kepada Agama Allah, selaras dengan Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia sesuai fitrah-Nya. Tidak ada sesuatu perubahan dalam ciptaan Allah tadi. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (al Rum, 30).
Idul fitri berarti back to nature dengan segala sederhanaan dan kealamaiahannya. Idul fitri bukan parade busana mewah dan bagus. Idul fitri mestinya mejadi momentum zakat mal, bukan zakat Mall.
Semoga sikap boros dan konsumerisme tidak menodai kekudusan Hari kemenangan,Idul Fitri.
Post a Comment