Ramadhan Mubarrak , Bukan Bulan Lawak
Kasihan ustad yang harus tampil konyol, ikut-ikutan membanyol bersama
para badut. Ramadan tahun lalu benar-benar telah menjadi bulan lawakan
karena didominasi oleh acara-acara dagelan dan kuis dengan sedikit
sentuhan agama, beberapa helai kerudung, baju koko, dan tentu saja wajah
menor sang artis wanita bahkan waria.
Umat Islam, utamanya di Indonesia, nampaknya memang telah sangat terbiasa dengan keimanan yang merupakan fungsi waktu. Ketika masuk bulan suci Ramadan, rasanya keberadaan night club, kedai minuman keras, pelacur, atau banci menjadi begitu tidak menyenangkan. Bahkan melihat orang yang seenaknya makan di jalan ketika kebanyakan orang melaksanakan puasa pun sudah membuat mata terasa tak nyaman.
Para artis pun merespon logika yang digunakan di masyarakat ini dengan sangat baik. Kalau mau mendapat job melimpah di bulan Ramadan, mereka pun rela menutup semua auratnya dengan rapat. Sayang, tak satu pun dari kebiasaan baik ini dilanjutkan setelah Ramadan berlalu.
Hampir semua stasiun TV menyambut Ramadan dengan acara lawakan yang semakin “brutal” dari tahun sebelumnya. Pemirsa diajak tertawa terus-menerus siang-malam. Sejak acara pengantar sahur hingga acara menjelang berbuka semua diwarnai lelucon yang konyol. Kadang-kadang juga diselingi dengan nasihat agama. Itu pun berlangsung secepat kilat, karena dibatasi jam tayang. Nampaknya, ada yang puasa dan ada pula puas-puasan ketawa.
Kasihan ustad yang harus tampil konyol, ikut-ikutan membanyol bersama para badut. Ramadan tahun lalu benar-benar telah menjadi bulan lawakan karena didominasi oleh acara-acara dagelan dan kuis dengan sedikit sentuhan agama, beberapa helai kerudung, baju koko, dan tentu saja wajah menor sang artis wanita bahkan waria.
Acara lawakan laksana obat penghilang rasa nyeri untuk membuat rakyat lupa bahwa lehernya sedang tercekik kesulitan ekonomi pascakenaikan harga BBM. Namun, ketika lawakan menerobos area sakral agama, maka kita harus menentangnya, meski mungkin bertentangan dengan kehendak umum. Membuat topik agama menjadi bahan tertawaan sungguh bukan sesuatu yang bisa dianggap ‘kebebasan berekspresi’ karena itu melanggar ayat al-Quran, Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” (QS. at-Taubah [9]: 65).
Bulan Ramadan tiba di tengah kesulitan ekonomi masyarakat Indonesia. Seharusnya suasana prihatin ini membuat kita lebih prihatin dan diisi dengan tadabur, evaluasi diri dan istigfar.
Awal Ramadan memang penuh rahmat, tetapi buat siapa? Buat mereka yang berdoa khusyuk menjelang berbuka puasa, bukan mereka yang masih nonton dagelan pada saat yang mustajab itu. Pertengahan Ramadan penuh ampunan, tetapi buat siapa? Buat mereka yang di waktu sahur beristigfar banyak, bukan mereka yang tertawa terbahak-bahak sambil sibuk menelepon menjawab kuis.
Akhir Ramadan menjanjikan pembebasan dari api neraka, tetapi buat siapa? Buat mereka yang menghabiskan malam-malamnya dengan salat dan menangis bertaubat, bukan mereka yang membuat hati kasar dengan banyak tertawa. Allah berfirman, “Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan. (QS. at-Taubah [9]: 82).
Rasulullah saw bersabda, “Ketika tiba malam-malam terakhir Ramadan, menangislah langit dan bumi, karena bulan yang mulia -di mana doa dikabulkan, pahala dilipatgandakan, dan dosa diampuni- akan segera lenyap.”
Betapa amat disesalkan bila Ramadan dilewati hanya dengan tertawa di depan TV. Beruntunglah orang yang waktu lahir dia menangis sedangkan manusia lain tertawa, dan ketika dia wafat manusia menangis sedangkan dia tertawa menemui Tuhannya. Semoga Allah mengampuni kita.
Ramadahan kali ini tidak hanya berisi tangis bahagia, tapi tangisan getir yang tertampang di wajah bocah-bocah di Palestina, Suriah, Irak dan daerah-daerah yang sedang diganggu oleh ekstremis yang menampilkan agama dan pandangan seara sadis dan biadab. Semoga bulan Ramadan kali ini menjadi ‘bulan evaluasi,’ amin.
Umat Islam, utamanya di Indonesia, nampaknya memang telah sangat terbiasa dengan keimanan yang merupakan fungsi waktu. Ketika masuk bulan suci Ramadan, rasanya keberadaan night club, kedai minuman keras, pelacur, atau banci menjadi begitu tidak menyenangkan. Bahkan melihat orang yang seenaknya makan di jalan ketika kebanyakan orang melaksanakan puasa pun sudah membuat mata terasa tak nyaman.
Para artis pun merespon logika yang digunakan di masyarakat ini dengan sangat baik. Kalau mau mendapat job melimpah di bulan Ramadan, mereka pun rela menutup semua auratnya dengan rapat. Sayang, tak satu pun dari kebiasaan baik ini dilanjutkan setelah Ramadan berlalu.
Hampir semua stasiun TV menyambut Ramadan dengan acara lawakan yang semakin “brutal” dari tahun sebelumnya. Pemirsa diajak tertawa terus-menerus siang-malam. Sejak acara pengantar sahur hingga acara menjelang berbuka semua diwarnai lelucon yang konyol. Kadang-kadang juga diselingi dengan nasihat agama. Itu pun berlangsung secepat kilat, karena dibatasi jam tayang. Nampaknya, ada yang puasa dan ada pula puas-puasan ketawa.
Kasihan ustad yang harus tampil konyol, ikut-ikutan membanyol bersama para badut. Ramadan tahun lalu benar-benar telah menjadi bulan lawakan karena didominasi oleh acara-acara dagelan dan kuis dengan sedikit sentuhan agama, beberapa helai kerudung, baju koko, dan tentu saja wajah menor sang artis wanita bahkan waria.
Acara lawakan laksana obat penghilang rasa nyeri untuk membuat rakyat lupa bahwa lehernya sedang tercekik kesulitan ekonomi pascakenaikan harga BBM. Namun, ketika lawakan menerobos area sakral agama, maka kita harus menentangnya, meski mungkin bertentangan dengan kehendak umum. Membuat topik agama menjadi bahan tertawaan sungguh bukan sesuatu yang bisa dianggap ‘kebebasan berekspresi’ karena itu melanggar ayat al-Quran, Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” (QS. at-Taubah [9]: 65).
Bulan Ramadan tiba di tengah kesulitan ekonomi masyarakat Indonesia. Seharusnya suasana prihatin ini membuat kita lebih prihatin dan diisi dengan tadabur, evaluasi diri dan istigfar.
Awal Ramadan memang penuh rahmat, tetapi buat siapa? Buat mereka yang berdoa khusyuk menjelang berbuka puasa, bukan mereka yang masih nonton dagelan pada saat yang mustajab itu. Pertengahan Ramadan penuh ampunan, tetapi buat siapa? Buat mereka yang di waktu sahur beristigfar banyak, bukan mereka yang tertawa terbahak-bahak sambil sibuk menelepon menjawab kuis.
Akhir Ramadan menjanjikan pembebasan dari api neraka, tetapi buat siapa? Buat mereka yang menghabiskan malam-malamnya dengan salat dan menangis bertaubat, bukan mereka yang membuat hati kasar dengan banyak tertawa. Allah berfirman, “Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan. (QS. at-Taubah [9]: 82).
Rasulullah saw bersabda, “Ketika tiba malam-malam terakhir Ramadan, menangislah langit dan bumi, karena bulan yang mulia -di mana doa dikabulkan, pahala dilipatgandakan, dan dosa diampuni- akan segera lenyap.”
Betapa amat disesalkan bila Ramadan dilewati hanya dengan tertawa di depan TV. Beruntunglah orang yang waktu lahir dia menangis sedangkan manusia lain tertawa, dan ketika dia wafat manusia menangis sedangkan dia tertawa menemui Tuhannya. Semoga Allah mengampuni kita.
Ramadahan kali ini tidak hanya berisi tangis bahagia, tapi tangisan getir yang tertampang di wajah bocah-bocah di Palestina, Suriah, Irak dan daerah-daerah yang sedang diganggu oleh ekstremis yang menampilkan agama dan pandangan seara sadis dan biadab. Semoga bulan Ramadan kali ini menjadi ‘bulan evaluasi,’ amin.
Post a Comment