Header Ads

test

Bangkit Menjadi Bangsa Bertrisakti





Tiap-tiap bangsa mempunyai hak untuk menjadi merdeka, yakni hak tiap-tiap bangsa untuk bebas merdeka memerintah dirinja sendiri. Itulah esensi pesan Bung Karno saat berpidato di peringatan Hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei 1958.



Menurut Bung Karno, cita-cita untuk menjadi bangsa merdeka, yakni bangsa yang merdeka memerintah dirinya sendiri, merupakan beginsel (prinsip) atau azas suci dari pencetusan kebangkitan nasional tanggal 20 Mei 1908. Bung Karno menegaskan: tidak ada satu bangsa yang cukup baik memerintah bangsa lain.



Di tahun 1961, di pertemuan Gerakan Non-Blok (GNB) di Beograd, Yugoslavia, Bung Karno kembali menegaskan arti penting kemerdekaan nasional. Ia mendefenisikan kemerdekaan nasional sebagai ‘kebebasan untuk menjalankan urusan politik, ekonomi, dan sosial kita sejalan dengan konsepsi nasional kita sendiri.'



Jadi, singkat cerita, kemerdekaan nasional seharusnya menjadi jalan bagi kita untuk membangun bangsa yang berdaulat di bidang politik, berdikari di lapangan ekonomi, dan berkepribadian secara budaya. Itulah bangsa Indonesia yang berlandaskan Trisakti. Itu pula yang menjadi landasan bangsa Indonesia untuk mencapai cita-cita nasionalnya: masyarakat adil dan makmur.



Seperti biasa, bangsa kita kembali memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Hanya saja, peringatan Harkitnas menjadi penting karena dua hal. Pertama, situasi objektif bangsa ini yang kembali mengalami keterjajahan secara ekonomi, politik, dan sosial-budaya. Kedua, berhimpitan dengan momentum Pemilu Presiden (Pilpres) 2014.



Memang, kalau kita tengok situasi hari ini, bangsa kita tidak lagi bebas memerintah dirinya sendiri. Secara ekonomi dan politik kita terperintah, entah oleh negara lain, lembaga keuangan internasional, maupun oleh korporasi asing. Akibatnya, secara ekonomi, politik, dan sosial-budaya kita tidak lagi berdaulat.



Secara ekonomi, kita tidak bebas menjalankan urusan ekonomi kita sendiri. Sejak orde baru hingga sekarang, kita sangat bergantung kepada modal asing. Tak hanya itu, kebijakan ekonomi kita banyak didiktekan dari luar, terutama dari triumvirat: IMF, Bank Dunia, dan WTO. Padahal, sebagian besar kebijakan ekonomi tersebut justru mengorbankan kepentingan ekonomi nasional dan rakyat kita.



Secara politik, kekuasaan politik yang menjadi penyelenggara negara tak ubahnya ‘agen pemasaran" segala sumber daya dan aset nasional kita kepada kapital asing. Mereka menggunakan kekuasaan politiknya, terutama terkait regulasi dan pemberian ijin usaha, untuk mengobral kekayaan dan aset nasional kita kepada asing. Akibatnya, hampir sebagian besar kekayaan alam dan aset nasional kita berpindah ke pangkuan modal asing.



Dalam situasi begitu, kekuasaan politik kita, baik legislatif maupun eksekutif, menjadi administratur yang baik dalam melayani tuntutan modal asing. Sementara tugas mereka melindungi kepentingan bangsa, sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945, diabaikan. Penyelenggara negara kita tidak lagi menjalankan kekuasaan dengan mengacu pada konsepsi nasional kita, yakni Pancasila dan UUD 1945, tetapi mengikuti tuntutan pihak asing.



Dalam konteks itulah, supaya peringatan Harkitnas tidak menjadi sekedar rutinitas belaka, semangat kebangkitan nasional itu perlu dikobarkan kembali untuk menjawab persoalan keterjajahan itu. Peringatan Harkitnas harus menjadi momentum untuk mengobarkan kembali semangat merebut cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.



Dalam konteks Pilpres 2014, kita berharap bahwa kepemimpinan nasional mendatang  haruslah punya komitmen politik yang kuat untuk merebut kembali cita-cita kemerdekaan nasional. Karena itu, dalam konteks Pilpres, harus ada desakan secara kolektif untuk memaksa para Capres-Cawapres yang bertarung segera menegaskan sikap mereka terhadap persoalan bangsa saat ini dan sekaligus bentuk konkret program mereka untuk membawa bangsa ini menjadi bangsa ber-Trisakti.

No comments