Riba, Perang Melawan Tuhan
Riba adalah sebuah wabah akut yang dapat melumpuhkan tatanan sosial sebuah masyarakat. Di samping menciptakan kesenjangan sosial antara kalangan kaya dan miskin, wabah ini juga dapat menghancurkan ekonomi dan modal insani utama sebuah masyarakat.
Apakah eksistensi riba dan apa pengaruhnya terhadap model kehidupan kita? Berikut wawancara Kantor Berita Shabestan (KBS) dengan Hujjatul Islam Ali Nashiri salah seorang ahli di Yayasan Ma’arif Wahyu:
KBS: Bagaimana riba bisa muncul dalam transaksi ekonomi masyarakat?
Nashiri: Riba bisa muncul ketika seseorang menghadapi problem finansial dan terpaksa meminjam sejumlah uang kepada orang yang memiliki kondisi finansial yang lebih baik guna menyelesaikan problem tersebut. Tetapi, pemilik modal mensyaratkan sebuah keuntungan untuk pinjaman ini.
KBS: Lalu bagaimana agama memandang masalah ini? Positif atau negatif?
Nashiri: Pertama harus kita camkan bersama bahwa seluruh nabi Allah menekankan sebuah ekonomi sehat dan pendapatan sehat yang terwujud lantaran roda produksi, distribusi, dan konsumsi yang bersifat fundamental, benar, dan baik.
Roda ekonomi yang sakit dan dapat menciptakan kesenjangan kasta di kalangan anggota masyarakat tidak pernah memperoleh legitimasi dari para manusia Ilahi itu.
Nabi Musa as pun menekankan dalam Kitab Taurat supaya kita tidak menuntut keuntungan dari uang yang kita berikan kepada orang lain sebagai utang.
Dengan demikian, riba dan memakan hasil riba telah dilarang dan haram sebelum Islam datang. Para nabi tidak pernah mengesahkan sistem transaksi ini. Tetapi, kita sekarang sedang menyaksikan sistem transaksi ini sedikit banyak dipraktikkan dalam masyarakat kita.
Ayat al-Quran pernah menegaskan, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba, (pada hari kiamat) mereka tidak akan dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Hal itu dikarenakan mereka berkata, “Sesungguhnya jual beli itu adalah sama dengan riba”, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya kentungan-keuntungan (hasil riba) yang telah diambilnya dahulu (sebelum datangnya larangan itu), dan urusannya (terserah) kepada Allah. Dan orang-orang yang mengulangi (mengambil riba), maka mereka adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah 2:257)
Dalam ayat, Allah menjelaskan keharaman dengan sangat tegas dan keras seakan-akan pemakan riba sedang berperang melawan Diri-Nya. Dia berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Lalu jika kamu tidak melakukan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya (dirugikan).” (QS. Al-Baqarah 2:278-279)
Tetapi Allah dalam ayat lain mendorong masyarakat untuk memberikan pinjaman dan menentukan pahala yang sangat besar untuk itu. Dia berfirman, “Siapakah yang bersedia memberikan pinjaman yang baik kepada Allah, lalu Dia akan melipatgandakannya dalam jumlah yang banyak? Allah menyempitkan dan membentangkan. Hanya kepada-Nyalah kalian akan dikembalikan.”
Ayat ini dan ayat-ayat yang serupa menekankan bahwa memberikan pinjaman diridai oleh Allah dan tidak akan membahayakan tatanan sosial masyarakat. Memberikan pinjaman ini sangat utama sehingga hadis menyebutnya lebih utama daripada sedekah. Dalam sebuah hadis disebutkan, pahala ini berlipat ganda sebanyak delapan belas kali sedekah.
Ayat-ayat ini jelas adalah sebuah dorongan bagi orang-orang yang mampu supaya menyelamatkan orang-orang lemah, bukan berkhayal menghitung keuntungan bulanan dan tahunan dari mereka dengan memasukkan riba ke dalam kehidupan mereka.
KBS: Dengan demikian, riba bisa mempengaruhi model kehidupan masyarakat. Bisakah Anda jelaskan efek-efek riba dalam kehidupan masyarakat?
Nashiri: Jelas itu. Sangat disayangkan sekali, di era modern ini, riba telah merasuki urat nadi kehidupan perbankan, perusahaan, dan yayasan-yayasan finansial. Hal ini telah menyebabkan uang kotor memasuki kehidupan masyarakat dan berkah pun sirna dari mereka.
Dari sisi lain, riba bisa membuat sebagian kelompok kaya menjadi lebih kaya dan kelompok miskin menjadi semakin miskin. Tentu realita ini bisa merusak keseimbangan masyarakat dan menciptakan dua kubu dalam masyarakat: kubu kaya dan kubu miskin.
Lebih dari itu, uang tersebut tidak digunakan untuk sebuah proses produksi dan perkembangan ekonomi yang sehat. Tetapi malah menciptakan sebuah gelembung-gelembung fatamorgana untuk sebagian orang. Dan ini akan membahayakan ekonomi negara.
Dalam sebuah hadis ditegaskan, orang yang melahap riba tak ubahnya seperti orang yang melakukan dosa paling keji dengan ibunya sendiri di sisi Ka’bah.
Untuk itu, pihak yang berwenang di jajaran pemerintahan harus melakukan tindakan-tindakan yang bisa menciptakan ekonomi sehat dan mengurangi kesenjangan sosial di tengah masyarakat sehingga para pelahar riba tidak bisa beraksi dengan semena-mena.
Tindakan-tindakan seperti telah dilakukan oleh sebagian negara. Seperti Jepang. Keuntungan bank di negara adalah nol. Mereka memahami bahaya yang bisa ditimbulkan oleh aksi riba ini.
Post a Comment