Pelajaran-pelajaran Asyura
Ini sebuah pelajaran besar dalam sejarah; ketika para pembesar merasa takut; ketika musuh menunjukkan wajah garangnya; ketika semua orang merasa bahwa jika terjun ke medan, mereka akan merasakan berada di medan yang begitu asing; Dalam kondisi seperti itulah substansi dan batin setiap orang tampak. Di seluruh dunia Islam masa itu - sebagai sebuah wilayah yang sangat luas dan sekian banyak negara Islam yang saat ini menjadi negera-negara independen kala itu masih berupa satu negeri - dengan jumlah populasi warganya yang sangat besar, di antara mereka yang punya kehendak, tekad dan keberanian berdiri melawan musuh adalah [Imam] Husain bin Ali as. Jelas sekali, ketika orang seperti [Imam] Husain bangkit dan melawan, ada sekelompok dari masyarakat yang bergabung bersama beliau, dan memang demikianlah. Meski demikian, mereka ini ketika tahu betapa beratnya gerakan kebangkitan ini, betapa sulitnya perjuangan ini, satu per satu dari mereka berpidah dan meninggalkan beliau. Dan dari seribu lebih orang yang ikut bergerak bersama [Imam] Husain bin Ali as sejak beliau meninggalkan Mekkah atau yang bergabung bersama beliau di pertengahan jalan, pada malam Asyura tinggal kelompok kecil dari mereka dimana jumlah keseluruhan yang bergabung dengan beliau pada hari Asyura hanya mencapai tujuh puluh dua orang!
Inilah ketertindasan. Ketertindasan ini tidak berarti kecil dan terhina. [Imam] Husain bin Ali as. adalah pejuang dan mujahid terbesar dalam sejarah Islam. Karena, dalam medan sebegitu dahsyatnya beliau berdiri tanpa gentar dan terus berjuang. Akan tetapi, manusia besar ini tertindas setingkat kebesarannya. Sedemikian besarnya beliau sebegitu pulalah beliau tertindas; dan dengan keadaan terasing beliau gugur syahid. Ada perbedaan antara prajurit yang mengorbankan jiwa atau orang yang penuh semangat pergi ke medan pertempuran - dimana masyarakat meneriakkan namanya sebagai slogan; dia tahu bahwa jika dia jatuh cacat atau gugur syahid, betapa bergairahnya orang-orang menyambutnya - orang seperti ini berbeda dengan seorang manusia yang begitu terasing, dalam kegulitaan yang sangat, sendirian, tanpa kawan, tanpa harapan bantuan apa pun dari orang-orang, dengan ekstensifnya propaganda musuh, namun ia tetap tegar, melawan dan menyerahkan dirinya kepada takdir Allah serta siap terbunuh di jalan Allah.
Di sinilah letak kebesaran para syahid Karbala. Yakni, dalam rangka mengemban tanggung jawab berupa jihad di jalan Allah dan agama, mereka tidak takut terhadap besarnya jumlah musuh; mereka tidak merasa kecil hati dengan kesendirian mereka; mereka tidak memandang jumlah sedikit sebagai alasan untuk melarikan diri dari musuh. Inilah yang memberikan kebesaran kepada seseorang, kepada seorang pemimpin dan sebuah bangsa; yaitu tidak gentar di hadapan kebesaran semu yang dimiliki musuh.
Sayyidus-Syuhada' [Imam] Husain bin Ali as. sudah tahu bahwa setelah kesyahidan beliau, musuh akan memenuhi ruang publik masyarakat dan dunia masa itu dengan propaganda anti beliau. [Imam] Husain bin Ali as. bukanlah orang yang tak kenal jaman dan musuh. Beliau yakin dan optimis bahwa gerakan ketertindasan dan keterasingan beliau ini pulalah yang pada akhirnya akan mengalahkan musuh, baik dalam jangka pendek atau dalam jangka panjang. Dam memang demikianlah kenyataannya. Salah jika seseorang mengira bahwa [Imam] Husain bin Ali as. sebagai pihak yang kalah. Mati dibunuh bukanlah kekalahan. Dalam front peperangan, orang yang mati terbunuh bukanlah orang yang kalah. Orang yang tidak berhasil mewujudkan targetnya; dialah orang yang kalah. Target musuh-musuh [Imam] Husain bin Ali as. ialah menumpas Islam dan kenangan-kenangan kenabian dari muka bumi. Mereka ini telah menelan kekalahan, karena tujuan ini tidak tercapai.
Tujuan [Imam] Husain bin Ali as. ialah merusak rencana matang musuh-musuh Islam yang telah atau tengah bermaksud mengubah apa saja dengan warna yang mereka inginkan; Imam Husain menginginkan terangkatnya Islam dan terdengarnya suara ketertindasan dan kebenarannya; dan berakhir dengan kalahnya musuh Islam. Dan ini tercapai. Baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang, [Imam] Husain bin Ali as. meraih kemenangan. Dalam jangka pendek, [tujuan] beliau ini ialah bahwa kebangkitan dan kesyahidan secara tertindas serta penyanderaan keluarga beliau telah menggoncangkan tatanan kekuasaan Bani Umayyah. Setelah peristiwa inilah justru dalam dunia Islam - di Mekkah maupun di Madinah - terjadi rentetan peristiwa yang pada akhirnya berujung pada kehancuran silsilah dinasti keluarga Abu Sufyan. Hanya dalam rentang tiga empat tahun kemudian, dinasti keluarga Abu Sufyan runtuh dan hancur. Apakah ada yang memperkirakan bahwa musuh yang telah membunuh [Imam] Husain bin Ali as. di Karbala secara madzlum itu ternyata dikalahkan oleh teriakan beliau; itupun dalam tiga atau empat tahun?!
Dalam jangka panjang pun [Imam] Husain bin Ali as. meraih kemenangan. Kalian lihat sejarah Islam dan amatilah bagaimana agama [Islam] berkembang pesat di dunia, bagaimana Islam menjadi semakin kuat mengakar, bagaimana bangsa-bangsa Muslim bermunculan dan berkembang, bagaimana ilmu-ilmu Islam mengalami kemajuan, fikih Islam mengalami kemajuan, dan pada akhirnya setelah melewati sekian abad, sekarang, panji Islam berkibar di atas atap tertinggi dunia. Apakah Yazid dan keluarga Yazid merasa puas dengan Islam yang terus berkembang dari hari ke hari? Mereka itu justru ingin mencerabut akar Islam; mereka tidak akan membiarkan satu nama pun tersisa dari Al-Quran dan nabi umat Islam. Akan tetapi, yang kita saksikan malah sebaliknya. Jadi, pejuang dan mujahid di jalan Allah yang sebegitu madzlumnya dalam melawan dunia, darahnya tertumpah dan sanak keluarganya ditawan, dia telah meraih kemenangan atas musuhnya dari segala aspek. Ini adalah pelajaran untuk semua bangsa.
Oleh karena itu, banyak yang menukil pernyataan para tokoh besar dunia kontemporer - bahkan yang bukan orang Muslim - yang mengatakan, "Kita telah belajar berjuang dari [Imam] Husain bin Ali as." Revolusi kita sendiri juga salah satu contohnya. Rakyat kita juga belajar dari [Imam] Husain bin Ali as. Mereka memahami bahwa mati terbunuh itu bukanlah kekalahan. Mereka menyadari bahwa dalam menghadapi musuh yang secara lahiriyah kelihatan kuat, mundur itu mengakibatkan kesengsaraan dan keterhinaan. Sebesar apa pun musuh itu, kalaulah kubu mukmin dan pihak yang beriman melakukan perjuangan melawannya dengan bertawakal kepada Allah, maka pada akhirnya kekalahan akan bersama musuh dan kemenangan bersama pihak yang beriman. Ini juga dipahami oleh bangsa kita.
(Pidato dalam pertemuan dengan berbagai lapisan masyarakat dalam acara tibanya bulan Muharram, 1 Juli 1992).
________________________________________
Dalam Asyura, terdapat pesan-pesan dan pelajaran-pelajaran. Asyura mengajarkan bahwa untuk menjaga agama, harus ada pengorbanan. Ia mengajarkan bahwa berada di jalan Al-Quran, harus melepaskan keterikatan pada segala sesuatu. Dia mengajarkan bahwa dalam medan perang antara kebenaran dan kebatilan, semua sama-sama berdiri dalam satu barisan; baik kecil maupun besar; perempuan maupun laki-laki; yang berkedudukan tinggi ataupun berkedudukan rendah; pemimpin ataupun rakyat biasa. Asyura mengajarkan bahwa kubu musuh dengan segenap kekuatan lahiriyah mereka sebenarnya sangat lemah (sebagaimana kubu Bani Umayyah, karena rombongan tawanan Asyuralah mereka mendapat pukulan telak di Kufah, di Syam, dan di Madinah, hingga akhirnya rentetan kejadian ini berujung pada kehancuran dinasti keluarga Abu Sufyan). Asyura mengajarkan bahwa dalam upaya mempertahankan agama, yang lebih diperlukan bagi seseorang ialah pandangan yang tajam. Orang-orang yang kurang tajam pandangan akan tertipu. Orang-orang yang lemah pandangan akan berada bersama kubu yang batil tanpa mereka sadari. Begitu pula dalam kubu Ibnu Ziyad, ada beberapa orang yang bukan fasik atau melakukan pelanggaran hukum agama, akan tetapi mereka tidak memiliki pandangan yang tajam.
Hal-hal ini adalah pelajaran-pelajaran Asyura. Tentu saja, pelajaran-pelarajan ini juga sudah cukup untuk mengangkat sebuah bangsa dari keterhinaan kepada kemuliaan. Pelajaran-pelajaran ini juga bisa mengalahkan kubu kufur dan arogansi. Inilah pelajaran-pelajaran pencipta kehidupan.
(Pidato dalam pertemuan dengan berbagai lapisan masyarakat dalam acara tibanya bulan Muharram, 1 Juli 1992).
________________________________________
Asyura adalah sebuah pentas menimba pelajaran. Seseorang harus melihat pentas ini hingga ia dapat memetik pelajaran. Lalu apa itu ‘memetik pelajaran'? yaitu, dia membandingkan dirinya dengan kondisi tersebut dan memahami; dalam situasi apakah dia? Dalam kondisi apakah dia? Apa saja yang akan mengancam dirinya? Apa saja yang dia perlukan? Ini yang dinamakan dengan ‘memetik pelajaran'. Kalau kalian melintas di sebuah jalan raya dan kalian melihat ada sebuah mobil yang terbalik atau tabrakan atau rusak hingga hancur dan para penumpangnya mati, lalu kalian berhenti dan mengamati untuk mengambil pelajaran darinya. Di situ kalian akan tahu apa yang penyebab kecelakaan itu terjadi, seberapa tinggi laju kecepatan kendaraan itu; bagaimana bergerak dan bagaimana si sopir mengemudikannya sampai berakhir dengan kondisi seperti itu. Ini juga bentuk lain dari pelajaran; akan tetapi pelajaran dengan cara memetik ibrah. Mari kita ulas sedikit hal ini.
Pelajaran pertama yang menarik perhatian kita dalam peristiwa Asyura ialah kita harus mengamati; kenapa setelah lima puluh tahun wafatnya Rasulullah Saw., masyarakat Islam sampai sebegitu rupa hingga orang seperti [Imam] Husain bin Ali as. untuk menyelamatkan masyarakat Islam tidak punya pilihan lain kecuali harus melakukan pengorbanan seperti itu? [Tentunya ada penilaian lain jika] pengorbanan [Imam] Husain bin Ali as. ini terjadi setelah seribu tahun dari era awal Islam; atau terjadi di jantung negara-negara dan bangsa-bangsa penentang Islam dan musuh Islam. Ini persoalan lain. Akan tetapi, di pusat Islam (Mekkah dan Madinah sebagai pusat wahyu kenabian) Imam Husain bin Ali as. telah melihat sebuah kondisi dimana bagaimana pun mengamatinya beliau tidak menemukan jalan keluar kecuali dengan pengorbanan; itupun pengorbanan berdarah yang sebemikian besarnya! Lalu, bagaimana sebenarnya kondisi masa itu sehingga [Imam] Husain bin Ali as. merasa bahwa Islam akan tetap hidup hanya dengan pengorbanannya, dan tanpa itu Islam akan musnah?! Di sinilah letak pelajaran.
Dulu sang pemimpin besar yang juga nabi bagi masyarakat Islam, sejak dari Mekkah dan Madinah telah mengangkat panji-panji, menyerahkannya ke tangan kaum Muslimin, dan mereka bergerak maju sampai ke ujung titik-titik semenajung Arabia dan garis-garis tapal Damaskus; mereka menjadi ancaman bagi imperium Romawi dan membuat pasukan Romawi lari hingga pasukan Islam kembali dengan kemenangan, dan itu adalah kisah yang dapat kita simak dalam peristiwa perang Tabuk. Pada saat di masjid dan jalan negeri Islam, ada suara dan bacaan keras Al-Quran, dan Rasulullah Saw. dengan irama dan tarik napas yang khas membacakan ayat-ayat Allah kepada masyarakat, membimbing masyarakat dan memimpin mereka di jalan hidayah dengan laju yang cepat.
Akan tetapi, kenapa lantas masyarakat itu sendiri, negeri itu sendiri dan kota-kota itu sendiri berbuat sedemikian rupa dan sebegitu jauhnya dari Islam sehingga orang seperti Yazid berkuasa atas mereka?! Ada kondisi yang telah terjadi hingga orang seperti [Imam] Husain bin Ali as. melihat bahwa tidak ada solusi lain kecuali pengorbanan yang besar ini! Pengorbanan ini tidak ada bandingannya dalam sejarah. Gerangan apa yang sudah terjadi hingga kondisi sampai ke tahap seperti ini? Di sinilah letak ibrah. Kita harus meletakkan hal ini sebagai fokus perhatian kita, sekarang ini.
Sekarang ini, kita adalah sebuah masyarakat Islam. Kita harus lihat masyarakat Islam pada masa itu; bahaya apa yang telah muncul hingga berdampak pada kemunculan Yazid? Apa yang telah terjadi sehingga dua puluh tahun setelah kesyahidan Amirul Mukminin [Ali bin Abi Thalib as.] di kota itu dimana beliau memerintah, mereka menancapkan kepala-kepala dari anak keturunan beliau di atas tombak dan mengaraknya di seputar kota?! Kufah bukan sebuah kota yang asing dari agama?! Kufah adalah kota yang Amirul Mukminin [Ali bin Abi Thalib as.] berjalan di lrong-lorong pasarnya, meletakkan cambuk di pundaknya, mengajak masyarakat kepada kebaikan dan melarang mereka dari kemunkaran; kota yang Al-Quran di waktu-waktu malam dan siang dibaca dengan suara keras. Begitulah kota itu tak lama selang beberapa tahun orang-orang di sana mengarak anak-anak perempuan dan keluarga Amirul Mukminin [Ali bin Abi Thalib as.] di pasar-pasar kota dalam keadaan sebagai tawanan. Dalam dua puluh tahun itu, apa yang telah terjadi sehingga kondisi berubah sedemikian rupa?
Kalaulah ada penyakit yang bisa membuat sebuah masyarakat - yang pernah dipimpin langsung oleh manusia-manusia seperti Rasulullah Saw. dan Amirul Mukminin [Ali bin Abi Thalib as.] - sampai mengalami kondisi seburuk itu dalam dua puluh tahun saja, maka penyakit itu pastilah penyakit yang berbahaya dan kita harus mewaspadainya. Imam kita yang agung [Imam Khomeini] memandang dirinya sebagai seorang dari murid-murid Rasulullah Saw., beliau merasa bangga dengan itu. Kebanggaan besar Imam Khomeini yaitu ketika beliau bisa memahami hukum-hukum Rasulullah Saw. lalu mengamalkan dan menyampaikannya. Meski demikian, sangat jauh perbedaan antara Imam Khomeini dan Rasulullah Saw.? Rasulullah Saw telah membangun masyarakat itu namun beberapa tahun kemudian masyarakat tersebut tertimpa oleh kondisi seperti itu. Jika demikian halnya, tentunya masyarakat kita sekarang ini harus sangat waspada agar tidak terjangkiti penyakit berbahaya itu. Di sinilah letak ibrah bagi kita. Kita harus mengenali penyakit itu; kita harus memandangnya sebagai bahaya yang besar dan itu harus kita hindari.
Menurut saya, pesan Asyura ini bagi kita sekarang lebih mendesak daripada pelajaran dan pesan lainnya. Kita harus tahu petaka apa yang telah menimpa masyarakat masa itu sehingga [Imam] Husain bin Ali as. sebagai anak dari orang paling dihormati di dunia Islam, anak khalifah kaum Muslimin, putra Ali bin Abi Thalib as. diperlakukan buruk sampai kepalanya yang telah dipenggal diarak berputar-putar di kota dimana ayahnya yang mulia pernah duduk sebagai khalifah di sana, dan tidak ada reaksi apa-apa! Dari kota itu pula, sekian orang datang ke Karbala; mereka membunuh syahid Imam Husain dan para sahabat beliau dengan bibir kering kehausan, sedangkan keluarga beliau ditangkap sebagai tawanan!
Ada banyak yang bisa dibicarakan dalam hal ini. Saya akan menyingkan sebuah ayat dari Al-Quran untuk menjawab pertanyaan di atas. Al-Quran telah memberikan jawaban kepada kita. Al-Quran telah menjelaskan penyakit itu kepada kaum Muslimin. Ayat itu ialah firman Allah SWT., "Maka datanglah setelah mereka sebuah generasi yang telah mecampakkan shalat dan mengikuti hawa nafsu, maka mereka akan menemui kesesatan." Ada dua faktor sebagai faktor utama kesesatan dan penyimpangan masyarakat ini: yang pertama, jauh dari mengingat Allah yang manifestasinya ialah shalat. Melupakan Allah dan spiritualitas; memisahkan spiritualitas dari kehidupan, dan mengosongkan kehidupan dari dzikir, doa, tawasul, tawakal dan memohon kepada Allah SWT., serta perhitungan-perhitungan ilahi. Faktor kedua ialah "mengikuti hawa nafsu." Singkatnya, kerakusan kepada dunia, berpikir bagaimana mengumpulkan kekayaan, menumpuk harta dan bersenang-senang dengan nafsu duniawi; menempatkan hal-hal ini sebagai prinsip, melupakan keluhuran dan etika, inilah penyakit yang utama dan besar. Kita juga mungkin saja tertimpa oleh penyakit ini. Kalau dalam sebuah masyarakat Islam, gairah memperjuangan kesucian telah sirna atau melemah, setiap orang akan berpikir bagaimana ia bisa selamat dari medan perang dan tidak tertinggal dari orang lain dalam mengejar dunia; mereka akan berpikir jika orang lain sudah punya banyak kekayaan, maka kita pun harus ikut menumpuk harta. Singkatnya, diri dan kepentingan pribadi lebih diunggulkan di atas kepentingan umum, maka dalam keadaan demikian ini, jelas saja kita pasti akan menderita penyakit itu.
Pemerintahan Islam hadir dengan rangkaian keimanan, dengan semangat-semangat yang tinggi, dengan mengangkat cita-cita luhur dan dengan memandang penting serta menjaga syiar-syiarnya. Dengan itu pemerintahan Islam tetap hidup dan terjaga utuh serta terus bergerak maju. Memudarkan syiar-syiar, mengabaikan asas-asas Islam dan Revolusi, dan memahami serta menimbang segala sesuatunya dengan ukuran-ukuran materi, pasti akan menyeret masyarakat masuk dalam keadaan buruk seperti itu.
Mereka di zaman itu telah tertimpa kondisi buruk seperti ini. Pada masa tertentu, kaum Muslimin peduli pada kemajuan Islam, keridhaan Allah, pendidikan agama dan ajaran-ajaran Islam, pengenalan terhadap Al-Quran dan konsep-konsep qurani. Dalam kondisi seperti itu, lembaga pemerintahan dan lembaga pengatur negara adalah lembaga yang zuhud, takwa, dan tak peduli terhadap hingar bingar dunia dan hawa nafsu pribadi. Hasilnya adalah kemunculan sebuah gerakan besar dimana masyarakat bergerak menuju Allah. Dalam kondisi seperti inilah pribadi seperti Ali bin Abi Thalib as. aktif sebagai khalifah. Orang seperti [Imam] Husain bin Ali as. menjadi pribadi yang menonjol. Kriteria-kriteria [unggul] dalam hal-hal ini tampak ada lebih dari segalanya. Tatkala parameternya adalah Allah, adalah takwa, adalah ketakpedulian terhadap dunia, adalah perjuangan di jalan Allah, maka orang-orang yang punya norma-norma ini akan bekerja di medan dan memegang kendali kerja sehingga masyarakat itu menjadi masyarakat islami.
Akan tetapi, tatkala kriteria-kriteria ilahi itu berubah, maka siapa saja yang lebih rakus kepada dunia, siapa saja yang lebih mengumbar nafsu, siapa saja yang lebih lihai dalam meraih keuntungan-keuntungan pribadi, siapa saja yang lebih jauh dari kejujuran dan kebenaran; [mereka-mereka] inilah yang akan berkuasa. Dalam keadaan demikian, maka hasilnya ialah orang-orang seperti Umar bin Sa'ad, Syimr dan Ubaidillah bin Ziyad memegang tampuk kepemimpinan, dan orang seperti [Imam] Husain bin Ali as. diseret ke tempat penjagalan dan gugur syahid di Karbala. Ini perhitungan pasti seperti dua kali dua sama dengan empat. Seharusnya orang-orang yang komit jangan sampai membiarkan kriteria-kriteria ilahi ini berubah dalam masyarakat. Kalau nilai ketakwaan dalam masyarakat itu berubah, maka jelaslah seorang manusia seperti [Imam] Husain bin Ali as. harus dikucurkan darahnya. Kalau kelicikan dan kelihaian dalam urusan dunia, saling tuduh, berkata bohong dan tak lagi peduli terhadap nilai-nilai Islam dijadikan sebagai kriteria, maka jelas orang seperti Yazid akan menjadi penguasa, dan orang seperti Ubaidillah jadi orang nomor satu di negeri Irak. Segenap urusan Islam ialah mengubah kriteria-kriteria batil ini. Segenap misi Revolusi kita ialah memerangi kriteria-kriteria batil, salah, materiil dan duniawi itu serta mengubahnya.
Dunia sekarang dunia kebohongan, dunia penindasan, dunia mengumbar hawa nafsu, dunia mengutamakan nilai-nilai materiil di atas nilai-nilai spiritual. Inilah dunia. Ini tidak hanya berlaku pada jaman sekarang. Sudah berabad-abad spiritualitas redup dan lemah di dunia. Pemuja kekayaan dan para pemilik modal terus berusaha menghilangkan spiritualitas. Para pemegang kekuasaan senantiasa menata sebuah sistem dan tatanan materiil di dunia sehingga di atasnya berkuasalah sebuah kekuatan yang paling banyak bohongnya daripada yang lain, lebih banyak penipuannya, lebih banyak ketakpeduliannya terhadap nilai-nilai keutamaan manusiawi dan lebih kejam terhadap sesama manusia seperti kekuatan Amerika. Inilah yang akan berada paling atas, dan begitu pula yang lain datang sampai tingkatan-tingkatan paling bawah. Demikianlah kondisi dunia. Revolusi Islam kita yaitu menghidupkan kembali Islam; menghidupkan [prinsip]
انّ اكرمكم عنداللَّه اتقيكم
"Sesungguhnya orang yang termulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian."
Revolusi ini datang untuk menghancurkan tatanan dunia dan struktur kalau dunia ini lalu menciptakan sebuah tatanan yang baru. Kalau tatanan materialistik dunia itu berlaku, maka jelaslah para pemuja hawa nafsu yang korup, busuk dan sesat seperti Muhammad Reza harus berada di atas segala urusan, dan manusia mulia bercahaya seperti Imam [Khomeini] harus mendekam di penjara atau berada dalam pembuangan! Dalan keadaan seperti ini, Imam [Khomeini] tidak punya tempat di tengah masyarakat. Ketika kedzaliman berkuasa, ketika korupsi berkuasa, ketika kebohongan berkuasa dan ketika kebusukan berkuasa, maka tempat orang yang punya kesucian, punya kejujuran, punya cahaya hati, punya makrifat yang dalam dan fokus kepada Allah adalah di penjara-penjara atau di tempat penyembelihan dan penjagalan, atau di kamp-kamp konsentrasi. Ketika seseorang seperti Imam [Khomeini] berada di atas kekuasaan, ini artinya lembaran [sejarah] berbalik; orang pengumbar hawa nafsu dan ambisius dunia akan terpinggirkan, ketergantungan dan korupsi tersisihkan, ketakwaan mengendalikan urusan, kezuhudan memegang kendali, ketulusan dan kenuranian tampak, jihad tampak, kepedulian terhadap sesama tampak, kasih sayang, harga diri, persaudaraan, dan pengorbanan tampak. Imam [Khomeini] yang memegang kendali kepemimpinan, ini berarti nilai-nilai mulia sedang berkuasa; keutamaan-keutamaan ini berkuasa; norma-norma berkuasa.
Jika kalian memegang teguh nilai-nilai ini, sistem imamah ‘kepemimpinan' akan tetap utuh. Ketika itulah orang-orang seperti [Imam] Husain bin Ali as. tidak akan lagi diseret ke penjagalan. Akan tetapi, kalau kita sia-siakan semua ini, apa yang akan terjadi? Kalau kita kehilangan semangat Basij (sebagai relawan), apa yang akan terjadi? Kalau kita memikirkan kehidupan senang pribadi kita daripada mementingkan tanggung jawab dan tugas serta cita-cita ilahi, maka apa yang akan terjadi? Kalau kita kucilkan anak muda Basij, anak muda yang mukmin, anak muda yang komit - yang tidak menginginkan apa-apa kecuali berada di medan perang dan berjuang di jalan Allah - lalu kita jadikan manusia besar kepala, rakus, tamak, berhati kotor dan kehilangan spiritualitas, maka apa yang akan terjadi? Ketika itulah segala sesuatu akan berubah. Kalau di awal era Islam, rentang waktu antara wafat Baginda Nabi SAW. dan kesyahidan buah hati beliau (Imam Husain bin Ali as.) adalah lima puluh tahun, maka di jaman kita ini, rentang waktu itu lebih pendek lagi sehingga mungkin saja hal itu terjadi, dan lebih cepat lagi sehingga mereka membawa nilai-nilai kemuliaan dan orang-orang mulia kita ke tempat penjagalan. Jangan sampai kita biarkan hal ini [terjadi]. Kita harus melawan penyimpangan yang mungkin dibuat-buat oleh musuh terhadap kita.
Jadi, memetik pelajaran dari Asyura ialah jangan sampai kita biarkan ruh Revolusi dalam masyarakat menjadi tersisihkan dan anak Revolusi berada di pojokan. Ada sekelompok orang yang keliru memahami persoalan-persoalan. Sekarang, Alhamdulillah, para pejabat yang penuh-peduli dan komit, presiden yang revolusioner dan mukmin sedang memerintah dan ingin membangun negara. Akan tetapi, ada sekelompok orang memahami pembangunan itu sebagai kecenderungan kepada materialisme. Pembangunan tidak sama dengan materialisme. Pembangunan yaitu memakmurkan negara dan mengangkat lapisan masyarakat miskin sampai pada taraf cukup.
Bertahun-tahun lamanya mereka telah memporak-porandakan negara ini. Pasca Revolusi juga mereka masih terus melakukan ini melalui pihak-pihak agresor luar negeri selama delapan tahun. Negara ini harus dibangun. Pembangunan ini membutuhkan usaha keras. Sejak perang berakhir sampai sekarang, baru tiga tahun lebih telah berlalu. Tidak banyak masa lewat sejak perang berakhir hingga hari ini. Satu bom jatuh di suatu tempat, dan dalam sekejap terjadi kehancuran. Akan tetapi, berapa waktu untuk membangun kembali kehancuran itu? Andaikan saja, sebuah bangunan, sebuah rumah, gedung dua tingkat, tiga tingkat hancur dalam sekejap, akan tetapi tidak bisa dibangun dalam sekejap. Mereka menghancurkan sebuah negara selama delapan tahun. Apakah ini sekedar gurauan? Sebelum ini, keluarga naas Pahlevi - semoga Allah menjatuhkan kutukan ke atas mereka, para pendukung mereka, para pendukung mereka, dan laknat Allah ke atas keluarga Qajar dan para pendukung mereka - telah menghancurkan negeri ini. Lalu Revolusi terjadi hingga membangun kembali negeri. Apakah memang musuh-musuh itu bisa kuasa menahan diri?
Sekarang, dokumen-dokumen kerjasama Amerika deengan Irak dalam perang yang dipaksakan terhadap kita sudah mulai terbongkar. Pada saat itu, kita telah mengatakan, pada saat itu telah kita katakan dengan tegas bahwa Barat dan Timur mendukung Irak. Akan tetapi, ada sekelompok kecil di dalam negeri yang berpikiran dangkal; mereka menolak itu dan mengatakan, ‘Mana buktinya?' Silahkan saja lihat, ini buktinya! Sekarang orang-orang Amerika juga yang membongkar dokumen-dokumennya sendiri hingga tampak jelas bahwa selama beberapa tahun ini, bantuan-bantuan besar apa saja yang mereka berikan kepada Irak. Barat dan Timur saling bekerja sama satu sama lain; mereka menyulut api peperangan ini dan menghancurkan negeri ini. Setelah sekian tahun penghancuran oleh penguasa-penguasa korup Pahlevi dan Qajar, dan setelah beberapa tahun penghancuran akibat perang, kini pemerintah Republik Islam [Iran] berkat dukungan rakyat, para pejabat, para pakar dan aparat-aparatnya, ingin membangun negara ini. Ini bukan pekerjaan satu dua hari; juga bukan pekerjaan satu dua tahun.
Semua bangunan-bangunan fisik ini telah hancur, semua prasarana lapangan kerja telah musnah ...! Semua ini bukan hal-hal yang dalam waktu singkat bisa dikembalikan seperti sedia kala. Inilah yang orang-orang katakan, ‘Pembangunan!' Ini adalah sebuah perjuangan, sebuah jihad di jalan Allah. Siapa saya yang terlibat dalam perjuangan ini, maka dia telah berjihad. Seseorang yang mengayunkan langkah dalam mengatur dan membina masyarakat Islam sebagai kewajiban besar, tentu sangat bernilai. Akan tetapi, sisi lain dari persoalan ialah materialisme, cinta dunia, suka materi. Ini satu masalah lain.
Pembangunan adalah sebuah pekerjaan yang dahulu dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib as.; dimana bahkan selama kekhalifahan beliau pun demikian, walaupun saya tidak begitu yakin tentang yang terakhir ini. Akan tetapi, sampai sebelum menjadi khalifah, [pembangunan] itu telah beliau lakukan sendiri; bagaimana beliau memakmurkan kebun-kebun kurma; menyuburkan tanah; menanami ladang; menggali sumur dan membuat saluran air. Inilah pembangunan! Suka dunia dan suka materi adalah pekerjaan yang biasa dilakukan oleh Ubaidillah bin Ziyad dan Yazid. Kapan mereka itu pernah membuat sesuatu dan membangunnya?! Mereka adalah orang-orang yang hanya memakai; mereka makan; mereka banyak berfoya-foya. [Jadi], dua hal ini jangan disalahpahami. Sekarang ini, ada sekelompok orang dengan nama pembangunan malah menghanyutkan diri mereka dalam uang, dunia dan materialisme. Apakah ini pembangunan?! Yang kemudian merusak masyarakat kita ialah tenggelam dalam hawa nafsu; kehilangan ruh ketakwaan dan pengorbanan. Yakni, ruh yang ada pada orang-orang Basij itu. Seorang Basij harus berada di tengah medan [perjuangan] sehingga nilai-nilai utama Revolusi tetap hidup.
Dengan cara menyebarkan budaya menyimpang; budaya dekaden dan kotor, musuh berupaya bagaimana merebut anak-anak muda kita dari kita. Usaha yang dilancarkan oleh musuh dari aspek budaya adalah sebuah ‘serangan budaya', bahkan harus kita katakan, ‘sebuah penyergapan budaya', ‘perampokan budaya', dan ‘pembantaian massal budaya'. Sekarang, musuh sedang melakukan hal ini terhadap kita. Siapa yang bisa membela nilai-nilai keutamaan ini? Dialah anak muda yang mukmin yang hatinya tidak terpikat pada dunia, hatinya tidak terikat oleh kepentingan pribadi, dan dia bisa berdiri kokoh serta membela nilai-nilai keutamaan ini. Seseorang yang dirinya sudah tercemar dan bermasalah, tentu dia tidak akan bisa membela nilai-nilai keutamaan ini. Anak muda yang tulus inilah yang bisa membela. Anak muda ini bisa membela Revolusi, nilai-nilai kemuliaan dan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, beberapa waktu yang lalu telah saya katakan, "Semua orang harus melakukan amar makruf dan nahi munkar." Sekang juga saya sampaikan, "Lakukanlah hani munkar." Ini adalah kewajiban. Ini adalah tanggung jawab agama kalian. Sekarang, ini juga tanggung jawab revolusioner dan politis kalian.
Ada sebagian orang yang menulis surat kepada saya; sebagian yang lain menelepon dan mengatakan, "kita melakukan nahi munkar. Namun aparat keamanan negara tidak memihak kami, tetapi malah membela pihak pelanggar." Saya sampaikan bahwa aparat-aparat keamanan negara - baik dari kepolisian ataupun dari kejaksaan - bahwa mereka tidak punya hak untuk membela pelanggar. Mereka harus membela pelaku amar makruf dan nahi munkar. Semua instansi pemerintahan kita harus berpihak kepada pelaku amar makruf dan nahi munkar. Ini adalah tugas. Jika seseorang melakukan shalat, lalu ada orang lain yang menyerang orang yang sedang melakukan shalat, maka manakah yang harus dibela oleh instansi-instansi kita? Orang yang melakukan shalat atau orang yang menarik sajadah dari bawah kaki orang yang sedang shalat? Amar makruf dan nahi munkar juga demikian.
Amar makruf juga seperti - yakni - amar makruf dan nahi munkar dalam skalanya yang luas dan massif bahkan lebih tinggi dari jihad, karena mengokohkan pondasi agama. Amar makruf dan nahi munkar menguatkan asas jihad. Apakah benar para aparat dan pejabat kita bisa menyamakan pelaku amar makrif dan nahi munkar dengan yang lain, apalagi mereka memihak lawannya?! Tentu saja, anak muda [yang punya semangat] ‘Hizbullah' juga harus waspada. Dia harus membuka matanya dan jangan membiarkan ada orang yang merusak barisannya dan dengan nama amar makruf dan nahi munkar menciptakan kerusakan sehingga mencoreng wajah Hizbullah. Kalian harus hati-hati. [Tugas] ini berada di pundak kalian. Saya percaya dan sekian pengalaman beberapa tahun ini juga telah membuktkan bahwa selama unsur-unsur Hizbullah hadir di tengah medan untuk melakukan satu pekerjaan, ada sekelompok unsur lain yang palsu melakukan kerusakan di sebuah sudut negeri dengan nama mereka sehingga mengeruhkan opini para pejabat terhadap unsur-unsur mukmin dan Hizbullah dan kerakyatan ini. Hati-hatilah kalian!
Masalah amar makruf dan nahi munkar seperti masalah shalat; masalah pembelajaran. Kalian harus mempelajarinya. Ada masalah, yaitu dimana dan bagaimana amar makruf dan nahi munkar itu harus dilakukan? Tentunya, saya katakan, dan telah saya katakan sebelum ini, bahwa dalam masyarakat Islam, kewajiban syar'i umum masyarakat ialah melakukan amar makruf dan nahi munkar dengan lisan; dengan kata-kata. Jika persoalannya sampai ke tingkat kontak fisik; maka itu menjadi tanggung jawab aparat negara. Mereka harus masuk terlibat dalam masalah. Akan tetapi, yang lebih penting adalah amar makruf dan nahi munkar secara lisan. Faktor yang memperbaiki masyarakat ialah nahi munkar secara lisan. Mereka harus menegur orang yang berbuat salah itu; orang yang melanggar itu, orang yang menyebarkan kebejatan moral itu, orang yang ingin menghilangkan rasa jijik terhadap dosa dari masyarakat. Sepuluh orang, seratus orang, seribu orang! Opini masyarakat harus menjadi beban wujud dan pikiran orang itu. Inilah hantaman yang paling kuat.
Unsur-unsur yang mukmin dan Hizbullah ini sendiri, yakni masyarakat umum yang mukmin ini sendiri; yakni mayoritas masyarakat luas di negara tercinta kita ini; mereka inilah yang memanajemen perang; mereka inilah yang sejak awal Revolusi sampai sekarang ini menghadapi segenap peristiwa, dan dengan begitulah mereka bisa melakukan peran yang paling penting. Unsur-unsur dari rakyat inilah yang kalau mereka tidak ada; kalau Basij ini tidak ada; kalau unsur besar Hizbullah ini tidak ada, maka dalam perang pun kita akan kalah; kita akan kalah dan rapuh selama beberapa tahun ini menghadapi musuh yang bermacam-macam. Ketika mereka ingin melumpuhkan aktifitas pabrik kita, unsur Hizbullah-lah datang dari dalam pabrik-pabrik dan memasang dada untuk mencegah. Ketika musuh membakar lading-ladang pertanian di awal revolusi dulu unsur-unsur Hizbullah datang dari tengah-tengah padang sahara dan pelosok desa-desa dan ladang-ladang untuk membungkam mulut mereka. Ketika mereka ingin membuat kerusuhan di jalan-jalan, unsur Hizbullah datang dengan dada sebagai perisai dan berdiri di hadapan mereka. Dalam medan perang juga sudah tentu. Ini adalah kekuatan utama negara.
Negara Islam ini berpijak di atas kekuatan ini. Artinya, unsur-unsur mukmin dan Hizbullah ini harus berada bersama negara, bersama pemerintah, dan Alhamdulillah demikianlah. Kalaulah kekuatan besar ini dan kekuatan besar rakyat yang tak terkalahkan ini bersama para pejabat dan di belakang para pejabat - dan alhamdulillah memang demikian - maka tidak akan ada satu kekuatan pun yang bisa berhadap-hadapan dengan Republik Islam [Iran].
Musuh-musuh kita itu takut terhadap hal ini. Dalam propaganda internasional, pengeras-pengeras suara Amerika dan Zionisme menuduh Republik Islam Iran ‘sedang mengembangkan kekuatan militer dan persenjataan' beberapa waktu terakhir ini! Mereka mengatakan, ‘Iran punya senjata-senjata pemusnah massal! Mereka itu sedang membuat senjata-senjata nuklir! Mereka telah mendapatkan hulu-hulu ledak atom dari negara tertentu!' Ini tuduhan-tuduhan yang siapa saja orang berakal, kalau saja memikirkannya, akan mehami kalau itu kebohongan belaka. Apakah bom atom adalah sesuatu yang bisa dialihkan dari satu negara ke negara lain secara diam-diam?! Mereka itu tahu kalau tuduhan itu hanyalah kebohongan. Mereka sadar bahwa tuduhan itu adalah kebohongan. Mereka hanya membuat-buat isu untuk menampilkan sebuah citra buruk dari negara Republik Islam Iran hingga seakan-akan Iran mengganggu kedamaian dan stabilitas keamanan di dunia. Inilah salah satu upaya-upaya jahat Amerika dan Zionisme terhadap Republik Islam Iran.
Saya katakan, ‘Kalian salah. Kalian salah jika menganggap bahwa kekuatan Republik Islam Iran ialah pengadaan atau pembuatan bom atom di dalam negeri.' Kalau memang Republik Islam Iran sekarang ini ingin, misaanya, membuat satu bom atom, masih banyak negara-negara besar yang punya ratusan bom atom. Kalau seseorang bisa mengalahkan orang lain dengan bom atom, maka Amerika dan Uni Soviet dulu serta kekuatan-kekuatan jahat lain di dunia sudah seratus kali menghancurkan Republik Islam Iran. Satu hal yang memberi kekuatan kepada negara ini bukanlah bom atom. Kekuatan negara Islam ini - dimana Amerika, Uni Soviet dan kekuatan-kekuatan besar maupun kecil dunia sampai sekarang ini tidak mampu dan tidak akan mampu menghadapinya - ialah kekuatan iman unsur-unsur Hizbullah.
Republik Islam Iran harus memelihara kekuatan ini. Kekuatan besar ini harus kalian jaga. Kalian, anak-anak muda, harus selalu berada di tengah medan. Kalian harus selalu menunjukkan bahwa Republik Islam Iran ini tangguh. Seorang unsur Basij yang mukmin dan angkatan-angkatan hizbullah di seluruh tanah air dan tiap-tiap manusia mukmin di negara ini harus berusaha sehingga Amerika, Zionisme dan kekuatan-kekuatan musuh putus asa sama sekali dari Republik Islam Iran.
(Pidato dalam pertemuan dengan para komandan dan satuan-satuan Asyura angkatan pertahanan Basij, dalam peringatan kesyahidan Imam Sajjad as., 13 Juli 1992).
________________________________________
Pada suatu saat, saya pernah berbicara tentang pelajaran-pelajaran dari perjuangan Imam Husain as. saya katakan bahwa dari peristiwa ini, kita memetik sekian pelajaran di samping pesan-pesan yang kita pelajari. Pesan-pesan berbicara kepada kita tentang apa yang harus kita lakukan, akan tetapi pelajaran-pelajaran berbicara kepada kita tentang peristiwa apakah yang telah terjadi dan peristiwa apa yang mungkin terjadi.
Pelajaran dari perjuangan Imam Husain as. ialah bahwa seseorang berpikir tentang sejarah dan masyarakat Islam, itupun masyarakat yang berada di bawah pimpinan seorang seperti Rasulullah Saw.; bukan seorang manusia biasa, dan beliau selama sepuluh tahun memerintah masyarakat itu dengan kekuatannya yang di luar bayangan manusia dengan aksesnya ke samudera wahyu ilahi yang tak terbatas serta kebijaksaannya yang tiada taranya. Lalu setelah rentang waktu yang pendek, pemerintahan Ali bin Abi Thalib as. berdiri di atas masyarakat ini, dan Madinah lalu Kufah secara berurutan menjadi pusat pemerintahan besarnya; peristiwa apa yang telah terjadi, dan kuman penyakit apa yang telah merasuki tubuh masyarakat ini sehingga separuh abad setelah wafat Rasulullah Saw. dan dua puluh tahun dari kesyahidan Amirul Mukminin [Ali bin Abi Thalib as.], mereka membunuh orang seperti [Imam] Husain bin Ali as. dalam keadaan yang sedemikian tragisnya di dalam masyarakat dan di tengah umat itu?!
Peristiwa apakah yang telah terjadi, dan bagaimana itu bisa terjadi? Peristiwa [pembantaian] itu bahkan bukan terjadi terhadap seorang anak lelaki tak dikenal dan tanpa nama, akan tetapi seorang anak yang dahulu sering dipeluk Rasulullah Saw., dan bersamanya beliau naik ke atas mimbar dan berbicara kepada masyarakat. Dia adalah seorang anak lelaki yang tentang dirinya Rasulullah Saw. bersabda, "Husain dariku, dan aku pun dari Husain." Hubungan antara ayah itu dan anak ini sebegitu kuatnya. Anak lelaki itu yang pada masa pemerintahan Amirul Mukminin [Ali bin Abi Thalib as.] merupakan salah satu pilar pemerintahan dalam perang dan damai, dan dalam politik begitu cemerlang bagaikan matahari. Pada masa itu, perlakuan masyarakat demikian rupa sehingga manusia ini sendiri - sebagai tokoh yang menonjol dan anak Rasulullah Saw.; dengan sebegitu agung amal, ketakwaan, dan kepribadiannya yang membanggakan serta berwibawa; yang berperan besar dalam mendidik masyarakat Madinah; yang memiliki banyak sahabat dan pembela yang setia; dan yang mempunyai pengikut di berbagai penjuru dunia Islam - sosok manusia seperti ini dikepung lalu dibantai dengan keji dalam keadaan kehausan.
Mereka tidak hanya membunuh beliau seorang diri, akan tetapi juga membantai semua orang laki-laki yang bersamanya, bahkan anak bayinya yang masih berusia enam bulanan. Kemudian mereka menyandera orang-orang perempuan dan anak-anak kecilnya seperti tawanan perang dan mengarak mereka dari satu kota ke kota yang lain. Apa sebenarnya persoalan yang ada dan apa yang telah terjadi itu? Ini adalah pelajaran.
(Petikan dari pidato Rahbar dalam pertemuan dengan para komandan, para pejabat dan personil Pasukan Garda Revolusi Islam/Sepah-e Pasdaran dan perwira Kepolisian serta sejumlah veteran cacat perang pada peringatan hari Pasdar, 26 Desember 1995).
________________________________________
Dalam pembahasan seputar Asyura, ada tiga topik utama:
Pertama, pembahasan tentang sebab-sebab dan motif-motif dari kebangkitan Imam Husain as; kenapa Imam Husain bangkit melawan? Yakni, analisis keagamaan, ilmiah dan politis terhadap kebangkitan ini. Dalam hal ini, saya sebelumnya telah menyampaikan uraian dan pandangan saya secara terperinci. Para ulama juga telah mengulas hal-hal ini dengan cermat. Sekarang ini kita tidak akan masuk ke dalam topik ini.
Topik kedua, pembahasan tentang pelajaran-pelajaran Asyura. Ini sebuah topik pembahasan yang hidup, abadi, dan berkesinambungan; tidak khusus pada masa tertentu. Terapkanlah pelajaran Asyura; pelajaran pengorbanan, keberanian, simpati, dan pelajaran kebangkitan demi Allah serta pelajaran cinta. Salah satu dari pelajaran Asyura ialah revolusi besar dan agung ini dimana kalian; bangsa Iran berada di barisan yang mengikuti gerak [Imam] Husain di zaman ini dan keturunan dari Abu Abdillah [Imam] Husain as. ini. [Revolusi] ini sendiri sudah cukup menjadi bagian dari Asyura. Terkait hal ini, saya juga tidak berniat untuk membahasnya sekarang.
Topik ketiga berkaitan dengan pelajaran-pelajaran Asyura yang beberapa tahun yang lalu juga telah saya kemukakan, bahwa Asyura memiliki pelajaran-pelajaran di samping pesan-pesannya. Pembahasan mengenai pelajaran-pelajaran Asyura terkait secara khusus dengan masa dimana Islam berkuasa. Yaitu setidak-tidaknya kita katakan bahwa duduk pembahasan ini khusus terkait dengan masa yang demikian ini; yakni masa kita dan negara kita dimana kita akan memetik pelajaran. Dulu saya pernah mengemukakan masalah ini, bahwa mengapa masyarakat Islam dengan Rasulullah Saw. yang Mulia sebagai porosnya; dengan kecintaan besar mereka kepada beliau; dengan iman kuat mereka kepada beliau; yaitu masyarakat yang penuh dengan semangat dan gelora agama; dengan hukum-hukum yang nanti sedikit banyaknya akan saya bahas; yaitu masyarakat yang telah matang ini; yaitu umat Islam itu sendiri; bahkan sebagian dari mereka adalah orang-orang yang mengalami masa-masa yang dekat dengan masa masa hidup Rasulullah Saw., ternyata setelah lima puluh tahun mereka sampai berbuat untuk bersatu dan membantai anak Rasulullah Saw, itupun dilakukan dengan cara yang sangat kejam?! Adakah kesesatan, keterbelakangan dan langkah balik ke belakang yang lebih parah dari ini?!
Atas dasar inilah Zainab Kubra as (putri Imam Ali as) di pasar kota Kufah telah menyampaikan pidato yang luar biasa itu, "Wahai warga Kufah! Wahai warga penipu dan pengkhianat! Mengapa kalian mesti menangis?!" Ketika warga Kufah menyaksikan kepala suci Imam Husain ditancapkan di atas tombak, melihat anak perempuan Imam Ali as menjadi tawanan dan mereka menyaksikan dari dekat dan merasakan langsung tragedi itu, mereka tersentak dan menangis. Zainab mengatakan, "Mengapa kalian mesti menangis?! Semoga tangisan kalian ini tak akan pernah habis." Lalu beliau mengatakan lagi, "Kalian ini sama dengan perempuan yang mencerai berai tali pintal setelah diikat erat karena kalian telah mencampakkan sumpah setia!" Inilah yang disebut balik ke belakang itu. Di sinilah pelajaran bisa dipetik. Setiap masyarakat Islam akan terancam dengan bahaya ini.
Imam Khomeini yang besar dan pemimpin tercinta kita punya kebanggaan yang besar, yaitu sebuah umat yang patuh pada ucapan-ucapan Rasulullah SAW. Apakah kepribadian orang-orang selain nabi dan selain manusia maksum bisa dibandingkan dengan kepribadian manusia besar ini? Beliau telah menciptakan masyarakat itu, dan mereka sendirilah yang kemudian mengikutinya. Apakah setiap masyarakat Islam punya pengalaman ini? Kalaulah kita petik pelajaran, tentu saja tidak demikian. Akan tetapi, jika kita tidak mengambil pelajaran, ya demikianlah. Di sinilah pelajaran-pelajaran Asyura.
Kita sebagai masyarakat masa ini, Alhamdulillah dengan kemurahan Allah, telah mendapatkan taufik dimana kita tempuh kembali jalan itu, kita hidupkan kembali Islam di dunia, dan kita kibarkan kembali panji Islam dan Al-Quran. Di dunia ini, kebanggaan itu telah menjadi milik kalian. Bangsa ini sampai sekarang juga - yang usianya telah lewat kira-kira dua puluh tahun sejak revolusinya - berdiri kuat dan kokoh di atas jalan ini dan bergerak menempuhnya. Akan tetapi, jika kita tidak teliti; jika kita tidak waspada; jika kita tidak menjaga diri kita tetap berada di jalan ini sebagaimana mestinya, maka bisa jadi nasib buruk itu akan menimpa kita. Di sinilah pelajaran Asyura dipetik.
Kini, saya ingin berbicara sedikit tentang sebuah masalah yang beberapa tahun yang lalu pernah saya memukakan dan, Alhamdulillah, saya telah melihat banyak ulama yang membahasnya, menelitinya, menceramahkannya dan menuliskannya secara panjang lebar. Tentu saja, pembahasan lengkap tentang masalah ini tidak bisa dibahas dalam pidato shalat Jum'at, karena begitu panjangnya. Insya-Allah, jika kita punya umur dan mendapatkan taufik, saya akan membahas masalah ini secara terperinci dengan sekian aspeknya dalam sebuah pertemuan selain forum shalat Jum'at. Pada hari ini, saya ingin memeriksa sekilas saja tentang masalah ini, dan jika Allah memberi taufik, saya akan menerangkan pembahasan yang sepanjang satu buku itu dalam bentuk pidato dan menyuguhkan kepada kalian.
Pertama, kita harus memahami peristiwa ini betapa besarnya lalu kita memeriksa sebab-sebabnya. Jangan sekali-kali orang mengatakan bahwa peristiwa Asyura hanyalah pembantaian dengan beberapa orang yang mati terbunuh. Sebagaimana kita semua membaca doa ini dalam ziarah Asyura, "Sungguh besar bencana ini, sungguh besar dan agung musibah ini!" Bencana ini adalah sebuah peristiwa yang sangat besar. Peristiwa ini luar biasa sekali. Tragedi ini sangat mengguncangkan dan tak ada bandingnya.
Untuk sedikit menerangkan betapa besarnya peristiwa ini, saya akan berbicara tentang tiga periode pendek dari sekian periode kehidupan Abu Abdillah Imam Husain as secara global. Coba kalian amati pribadi ini yang orang mengenalnya selama tiga periode ini; apakah ia bisa memprediksikan bahwa keadaan beliau sebegitu rupa sehingga pada hari Asyura, ada sekelompok orang yang mengaku dari umat datuk beliau mengepungnya, dan dengan begitu mengenaskan mereka membantai beliau, bersama seluruh kawan dan sahabat serta keluarganya lalu menyandera wanita-wanita mereka?
Tiga periode ini; yang pertama adalah periode kehidupan Rasulullah SAW.; yang kedua, periode masa muda [Imam] Husain bin Ali as., yakni periode dua puluh lima tahun sampai pemerintahan Amirul Mukminin [Ali bin Abi Thalib as.]; yang ketiga, periode kekosongan, yaitu dua puluh tahun setelah kesyahidan Amirul Mukminin sampai peristiwa Karbala.
Pada peeriode kehidupan Rasulullah SAW., Imam Husain adalah anak kecil yang bercahaya dan buah hati Rasulullah SAW. Rasulullah memiliki seorang anak perempuan yang bernama Fathimah, dan semua orang pada masa itu tahu bahwa Rasulullah bersabda,
انّ اللَّه ليغضب لغضب فاطمة
"Sesungguhnya Allah pasti murka demi kemurkaan Fathimah."
Jika ada seseorang yang membuat Fathimah marah, maka dia sesungguhnya telah membuat Allah marah kepadanya.
و يرضى لرضاها
"Dan Allah rela karena kerelaan Fathimah",
Jika ada orang yang membuat Fathimah senang, maka dia juga telah membuat Allah senang. Coba kalian perhatikan; bagaimana Rasulullah SAW dengan nada itu berbicara tentang anak perempuan yang sangat mulia ini di hadapan masyarakat dan di hadapan khalayak. Ini jelas bukan masalah yang biasa.
Dalam masyarakat Islam, Rasulullah SAW. telah menyerahkan anak perempuan ini kepada seseorang yang dari segi prestasi berada di tingkat teratas; yaitu Ali bin Abi Thalib as. Dia seorang pemuda pemberani, terhormat, paling mukmin, orang yang paling unggul dari segalanya, paling pemberani dari semuanya, dan berada di segenap medan perang. Dialah orang yang dengan pedangnya telah menegakkan Islam; di manapun semua orang tidak bisa berbuat apa-apa, anak muda ini maju ke depan, membuka kebuntuan dan memecahkan kesulitan. Menantu tercinta dan mulia ini - yang kecintaan kepadanya bukan lantaran hubungan kekeluargaan, akan tetapi karena kebesaran pribadinya - adalah suami dari anak tercinta Rasulullah SAW. Dan lahirlah seorang anak dari mereka. Dia adalah Husain bin Ali as.
Tentu saja, semua pembahasan tadi juga terkait dengan Imam Hasan as, akan tetapi sekarang ini pembahasan saya terfokus pada pribadi Imam Husain as. sebagai yang orang tercinta dari orang-orang yang dicintai Rasulullah Saw.; yaitu sosok figur yang oleh pemimpin agung dunia Islam, pemimpin masyarakat Muslim dan kinasih hati semua orang, sering dipeluk dan dibawa ke masjid. Semua orang tahu betapa anak kecil ini begitu dicintai oleh sosok manusia yang dicintai oleh semua orang. Pernah, ketika Nabi sedang berpidato di atas mimbar, anak kecil ini tersandung hingga jatuh. Melihat itu Rasulullah SAW langsung turun dari mimbar lalu mengendongnya dan menenangkannya. Perhatikanlah bagaimana masalah ini.
Tentang Imam Hasan dan Imam Husain yang berusia enam atau tujuh tahun, Rasulullah SAW bersabda, "Mereka berdua adalah penghulu kaum pemuda surga." Mereka yang masih kanak-kanak, bukanlah anak muda, akan tetapi Rasulullah SAW mengatakan bahwa mereka ini penghulu kaum pemuda surga. Yakni, pada periode enam atau tujuh tahun, ia sudah setingkat anak muda; dia memahami, mengerti, berbuat, bertindak, beradab dan seluruh wujudnya diliputi kemuliaan. Jika pada masa itu orang mengatakan bahwa anak ini akan dibunuh oleh umat Rasulullah SAW sendiri tanpa dosa dan kesalahan, jelas orang-orang tidak akan percaya akan hal ini, sebagaimana Rasulullah SAW. telah mengatakan dan menangis hingga semua orang terheran; apakah itu bisa terjadi?!
Periode kedua adalah periode dua puluh lima tahun setelah wafat Rasulullah SAW. hingga pemerintahan Amirul Mukminin [Ali bin Abi Thalib as.]. Husain tampil muda, mulia, alim dan pemberani. Ia ikut serta dalam berbagai peperangan, terlibat dalam kerja-kerja besar, semua orang mengenalnya sebagai sosok agung. Ketika para penyemat nama besar hadir, semua mata tertuju kepadanya. Dalam setiap keutamaan, di tengah kaum muslimin Mekkah dan Madinah, di setiap tempat dimana Islam menggema, ia bagaikan matahari bersinar cemerlang. Semua orang hormat kepadanya. Para khalifah masa-masa itu hormat kepadanya dan kepada saudaranya; mereka memberikan penghormatan dan pengagungan kepadanya; mereka menyebut namanya dengan begitu besarnya. Dialah figur teladan pemuda di masa itu dan terhormat bagi semua orang. Jika pada masa itu ada seseorang yang mengatakan bahwa anak muda ini akan dibunuh oleh orang-orang itu juga, maka tidak ada satu orangpun yang akan percaya.
Periode ketiga adalah periode setelah kesyahidan Amirul Mukminin [Ali bin Abi Thalib as.]. Yakni, periode keterasingan Ahlul Bait. Imam Hasan dan Imam Husain as. masih berada di Madinah. Dua puluh tahun setelah itu, Imam Husain hidup sebagai imam spiritual bagi segenap kaum Muslimin, mufti besar seluruh umat Islam, dihormati oleh semua orang Muslim, tempat lalu lalang semua penuntut ilmu, tempat pegangan dan perantara semua orang yang ingin mengungkapkan kecintaan mereka kepada Ahlul Bait. Dia pribadi yang dicintai, agung, mulia, suci, kokoh dan alim. Kepada Mu'awiyah, ia menulis surat; surat yang siapa saja menulisnya untuk penguasa manapun, ganjarannya adalah kematian.
Namun, Mu'awiyah menerima surat itu dengan penuh penghormatan. Dia membacanya, menahan rasa dan tidak berkata apa-apa. Jika pada masa-masa itu saja oang mengatakan bahwa dalam waktu dekat, orang terhormat, mulia, agung dan suci ini - sebagai perwujudan Islam dan Al-Quran di hadapan pemandang - mungkin akan dibunuh oleh umat pengikut Al-Quran dan Islam ini, itupun dengan cara yang sangat kejam, maka ini tidak bisa dimengerti oleh siapa saja. Akan tetapi, peristiwa yang tak bisa dipercaya ini; peristiwa aneh dan mengherankan ini ternyata terjadi! Siapakah yang melakukannya? Mereka adalah orang-orang yang datang kepada beliau dan mengungkapkan salam dan kecintaan. Apa artinya ini? Artinya, masyarakat Islam selama lima puluh tahun telah kehilangan spiritualitas dan hakikat Islam. Lahiriyahnya Islam, tapi batinnya sudah rapuh. Di sinilah bahaya. Shalat didirikan, shalat jamaah didirikan, orang-orang juga bernama muslim dan ada sebagian orang yang juga berpihak kepada Ahlul Bait!
Tentu saja harus saya katakan kepada kalian bahwa di seluruh dunia Islam, semua orang menerima Ahlul Bait. Sekarang juga mereka demikian, dan tidak ada seorang pun yang ragu akan hal ini. Kecintaan kepada Ahlul Bait ada di seluruh dunia Islam. Sekarang pun juga masih demikian. Kemana pun kalian sekarang ini pergi, mereka cinta Ahlul Bait. Masjid yang dikaitkan dengan Imam Husain as, dan masjid lain di Kairo yang dikaitkan dengan Sayyidah Zainab; di sana kalian saksikan para peziarah dan penduduk yang berjubel. Orang-orang pergi berziarah ke makam itu; mereka menciuminya dan bertawassul.
Bahkan satu dua tahun sebelum ini, saya mendapatkan sebuah buku baru; bukan klasik, karena masalah ini sudah wajar disinggung dalam buku-buku klasik. Buku itu membahas seputar makna dari Ahlul Bait. Salah seorang penulis kontemporer dari Hijaz telah meneliti dan ia dalam buku ini membuktikan bahwa Ahlul Bait itu adalah Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Bagi kita yang menganut faham Syi'ah, pendapat seperti itu adalah bagian dari darah daging kita, namun saudara muslim selain Syi'ah itu telah menuliskan yang demikian dan dia menyebarkannya. Jadi ada buku ini, dan saya juga memilikinya. Tentunya, buku ini dicetak dalam ribuan naskah dan telah disebarkan.
Oleh karena itu, Ahlul Bait sangat dihormati. Pada masa itu, mereka juga sangat dihormati. Akan tetapi, pada saat yang sama, ketika masyarakat telah kosong dan rapuh, terjadilah peristiwa ini. Lalu, di mana letak pelajaran [dapat dipetik]? Letak pelajaran itu ialah apa yang harus kita lakukan sehingga masyarakat tidak jadi demikian itu. Kita harus memahami apa yang tela terjadi di sana sehingga masyarakat sampai kepada kondisi yang demikian itu. Ini jelas pembahasan yang panjang dan terperinci dan saya hanya akan mengupasnya secara singkat. Pertama-tama, sebagai mukadimah saya katakan bahwa Rasulullah Saw. telah menciptakan sebuah sistem [sosial] yang garis-garis dasarnya terdari dari beberapa hal. Dari garis-garis dasar ini, saya mendapatkan empat hal; pertama, pengetahuan yang jelas dan gamblang; pengetahuan tentang agama; pengetahuan tentang Tuhan; pengetahuan tentang Rasulullah Saw.; pengetahuan tentang alam. Pengetahuan inilah yang kemudian berakhir sampai pada ilmu dan semangat ilmu pengetahuan dan telah membawa masyarakat Islam di abad keempat Hijriah sampai ke puncak peradaban ilmu pengetahuan. Rasulullah Saw. tidak pernah membiarkan ada kekaburan. Dalam hal ini, ada ayat-ayat yang sangat menarik dari Al-Quran dan bukan saatnya di sini untuk saya bahas. Di manapun terjadi ketakjelasan, ada saja satu ayat yang diturunkan untuk menghilangkan ketakjelasan itu.
Garis dasar kedua ialah keadilan mutlak dan tindakan tanpa pandang bulu; keadilan dalam peradilan; keadilan dalam pemanfataan layanan publik dan bukan pribadi, yaitu fasilitas-fasilitas milik semua rakyat dan harus dibagikan kepada mereka secara adil; keadilan dalam menerapkan hukum-hukum Allah; keadilan dalam jabatan, pelimpahan dan penerimaan tugas. Tentu saja, keadilan tidaklah sama dengan penyama-rataan. Ini jangan disalahpahami. Kadangkala, penyamarataan itu kedzaliman. Keadilan yaitu meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dan memberikan hak kepada pemiliknya. Itulah keadilan mutlak dan tanpa pandang bulu. Pada masa Rasulullah SAW, tidak ada seorang pun dalam masyarakat Islam yang keluar dari lingkaran keadilan.
[Garis dasar] ketiga ialah penghambaan diri secara sempurna dan semata-mata di hadapan Tuhan Pengatur, yakni penghambaan diri kepada Allah dalam kerja dan aktifitas personal, penghambaan diri dalam shalat yang harus diniati dengan ‘mendekatkan diri kepada-Nya', hingga penghambaan diri kepada-Nya dalam membangun masyarakat, dalam sistem pemerintahan, sistem kehidupan masyarakat dan hubungan-hubungan sosial rakyat dibangun di atas dasar penghambaan diri kepada Allah. Dan ini sendiri membutuhkan penjelasan dan perincian yang panjang.
[Garis dasar] keempat ialah cinta dan peluapan emosi. Ini juga salah satu ciri dasar masyarakat Islam; cinta kepada Allah; cinta Allah kepada rakyat;
يحبّهم و يحبّونه
"Dia mencintai mereka dan mereka juga mencintai-Nya";
ان اللَّه يحبّ التّوابين و يحبّ المتطهّرين
"Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang pentaubat dan mencintai orang-orang yang bersuci";
قل ان كنتم تحبّون اللَّه فاتّبعونى يحببكم اللَّه
"Katakanlah, ‘Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, pasti Allah cinta kepada kalian".
Cinta dan kasih; cinta kepada istri; cinta kepada anak -dimana Anda disunnahkan mencium anak, disunnahkan menunjukkan kecintaan kepada anak, disunnahkan mencintai istri, disunnahkan mencintai saudara-saudara yang muslim - cinta kepada Rasulullah SAW; cinta kepada Ahlul Bait, الاّ المودّة فى القربى "[Aku tidak meminta upah apa pun atas seruan ini] kecuali kecintaan kepada keluargaku."
Rasulullah SAW telah menjelaskan garis-garis ini dan atas dasar garis-garis ini pula beliau membangun masyarakat. Demikian ini pula Rasulullah SAW telah mengatur pemerintahan sepanjang sepuluh tahun. Tentu saja, pembinaan masyarakat adalah kerja bertahap; bukan kerja spontan. Selama sepuluh tahun ini, Rasulullah SAW telah berusaha agar pondasi-pondasi ini kuat dan kokoh serta mengakar dalam. Akan tetapi, supaya beliau dapat mengubah masyarakat yang dulunya berlawanan keras dengan ciri-ciri dasar itu, maka sepuluh tahun ini adalah masa yang sangat singkat.
Masyarakat Jahiliyah berlawanan dengan empat garis dasar itu dalam segala perkara; orang-orang tidak punya pengetahuan apa-apa; mereka hidup dalam kebingungan dan kebodohan; mereka juga tidak punya penghambaan diri [kepada Allah]; yang ada adalah kekuasaan dzalim dan penindasan; juga tidak ada keadilan apa pun; semuanya yang ada adalah kedzaliman; semuanya adalah diskriminasi dimana Amirul Mukminin dalam Nahjul Balaghah - dalam rangka menjelaskan kedzaliman dan diskriminasi di era Jahiliyah - menyampaikan uraian-uraian yang mencengangkan, membongkar fakta hingga nampak bagaikan sebuah lukisan seni,
فى فتن داستهم باخفافها و وطئتهم باظلافها
"Dalam situasi-situasi buruk yang menginjak-injak mereka dengan telapak-telapak kakinya dan menerjang mereka dengan tapal-tapalnya."
Di sana tidak ada cinta. Mereka mengubur anak-anak perempuan mereka sendiri hidup-hidup. Mereka membunuh orang dari kabilah lain tanpa dosa apapun. "Kamu telah membunuh satu orang dari kami, maka kami juga harus membunuh satu orang dari kabilahmu!" Ada atau tidaknya pembunuh, ataukah dia tidak berdosa apa-apa, atau tidak tahu menahu, [yang jelas] itu adalah kedzaliman mutlak, kekejaman mutlak; ketiadaan total cinta dan naluri.
Masyarakat yang tumbuh dalam suasana seperti itu bisa saja dibina dalam sepuluh tahun; diubah menjadi manusia dan dimuslimkan, akan tetapi pembinaan ini tidak bisa menembus ke kedalaman jiwa mereka, apalagi untuk segitu dalamnya merembas hingga bisa pada gilirannya mempengaruhi orang lain.
Kemudian orang-orang menjadi muslim secara berduyun-duyun. Merekalah orang-orang yang tidak pernah melihat Rasulullah SAW; orang-orang yang tidak mengalami sepuluh tahun [pembinaan] itu. Masalah ‘wasiat' yang dipercayai oleh kaum Syi'ah bermula dari sini. Wasiat atau suksesi dan pelantikan Ilahi (kekhalifahan) berawal dari sini; yaitu dalam rangka melanjutkan pembinaan itu. Jelas sekali, wasiat ini bukan seperti wasiat-wasiat biasa di dunia dimana setiap orang meninggal dunia lalu ia mewasiatkan kepada anak lelakinya. Duduk masalahnya ialah setelah ketiadaan Rasulullah SAW, agenda-agenda [pembinaan] beliau harus terus berlanjut.
Sekarang ini, saya tidak ingin mask ke pembahasan-pembahasan teologis. Saya ingin membahas sejarah dan sedikit menganalisis sejarah dan kalian juga menganalisisnya lebih lanjut. Masalah ini juga berkaitan dengan semua orang; tidak khusus hanya dengan orang Syi'ah. Masalah ini berkaitan dengan kaum Syi'ah, Ahli Sunnah dan seluruh golongan Islam. Kalian semua harus peduli dengan masalah ini, karena hal ini penting untuk semua orang.
Adapun sejarah setelah wafat Rasulullah SAW. apa yang telah terjadi sehingga dalam lima puluh tahun ini, masyarakat Islam berbalik dari keadaan ini ke keadaan semula itu? Di sinilah duduk permasalahan, dan di sini pula dokumen-dokumen sejarah harus dirujuk. Tentunya, bangunan [sosial] yang telah didirikan oleh Rasulullah SAW bukanlah sebuah bangunan yang dalam waktu singkat mudah hancur. Oleh karena itu, di awal-awal pasca wafat Rasulullah SAW seperti yang kalian sendiri amati, semuanya - kecuali masalah wasiat itu - tidak berubah; masih ada keadilan yang cukup; masih ada dzikir yang bagus; masih ada penghambaan diri yang bagus. Kalau seseorang mengamati struktur umum masyarakat Islam dalam tahun-tahun pertama (pasca ketidaan Rasulullah SAW), dia akan menemukan bahwa secara lahiriyah, tidak ada sesuatu pun yang berbalik ke belakang. Tentu saja, ada hal-hal yang mungkin berubah, akan tetapi secara dzahir, itu masih menampilkan pondasi-pondasi dan basis-basis yang telah diletakkan oleh Rasulullah SAW. Namun, keadaan ini tidak bertahan. Semakin waktu berlalu, masyarakat Islam turun semakin melemah dan rapuh secara bertahap.
Coba kalian perhatikan: ada sebuah poin penting dalam surah Al-Fatihah dimana saya telah menyampaikannya dalam berbagai pertemuan berkali-kali. Ketika seseorang mengatakan kepada Sang Pencipta alam semesta, اهدنا الصّراط المستقيم, artinya, "Tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus", lalu Allah mengartikan ‘jalan yang lurus' ini demikian, صراط الّذين انعمت عليهم "Jalan orang-orang yang kenikmatan diberikan kepada mereka". Banyak kenikmatan yang Allah berikan; Dia memberikan nikmat juga kepada Bani Israil,
يا بنىاسرائيل اذكروا نعمتى الّتى انعمت عليكم
"Wahai Bani Israil, ingatlah nikmatku yang telah aku berikan kepadamu."
Nikmat Allah itu bukan khusus milik kaum nabi, orang-orang shaleh dan para syahid,
فاولئك مع الّذين انعماللَّه عليهم من النّبيّين والصّدّيقين والشّهداء والصّالحين
"Maka, mereka itulah bersama orang-orang yang kepada mereka Allah memberikan dari para nabi, orang-orang jujur tulus, para syahid dan orang-orang shaleh!" Mereka ini diberi nikmat, akan tetapi Bani Israil juga diberi nikmat.
Orang-orang yang diberi nikmat itu ada dua golongan: pertama, mereka yang ketika mendapatkan nikmat Allah tidak sesekali membuat Allah marah terhadap mereka, tidak pula mereka menjadi tersesat. Mereka itulah orang yang kita menyebut mereka dengan: "Ya tunjukkanlah jalan mereka kepada kami." "Yang tidak dimurkai" dalam istilah teknis sastranya adalah ajektif untuk "orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat kepada mereka", yaitu bahwa ciri-ciri orang-orang ini adalah "yang tidak dimurkai juga tidak tersesat."
Golongan lain adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, akan tetapi mereka mengubah nikmat Allah dan merusaknya. Oleh karena itulah mereka mendapatkan kemurkaan [Ilahi]; atau orang-orang yang berjalan mengikuti mereka hingga tersesat. Dalam riwayat-riwayat kita disebutkan bahwa maksud dari "yang tidak dimurkai" adalah orang-orang Yahudi, dan ini hanyalah penjelasan referensial (contoh konkret), karena orang Yahudi itu sampai pada masa Nabi Isa AS atau Nabi Musa AS dan para penerusnya melakukan penentangan secara sadar dan sengaja. Adapun "yang tersesat" adalah orang-orang Nasrani, karena mereka ini telah menjadi orang-orang sesat. Kondisi orang Nasrani ketika itu ialah mereka telah tersesat sejak awal, atau setidak-tidaknya, kebanyakan dari mereka dalam kondisi demikian. Sementara orang-orang Muslim telah mendapatkan nikmat. Kenikmatan ini juga didapat oleh ‘orang-orang yang dimurkai" dan "orang-orang tersesat." Oleh karena itu, ketika Imam Husain as gugur sebagai syahid, Imam Ja'far as. dalam sebuah riwayat yang dinukil dari beliau mengatakan,
فلما ان قتل الحسين صلواتاللَّهعليه اشتدّ غضب اللَّه تعالى على اهل الارض
"Tatkala Husain as telah dibunuh, murka Allah SWT menjadi sangat besar terhadap penduduk bumi." Ya, karena beliau adalah manusia maksum.
Oleh sebab itu, masyarakat yang diberi nikmat oleh Allah tetapi berjalan menuju murka [Ilahi]; maka kita harus mencermati perjalanan mereka. Ini sangat penting; sangat susah; perlu ketelitian yang tinggi. Berikut ini, saya hanya akan membawakan beberapa contoh. Orang-orang awam dan kalangan khusus punya kondisi masing-masing yang khas. Kalangan khusus yang tersesat itu boleh jadi "orang-orang yang dimurkai", dan kalangan awam itu mungkin saja "orang-orang yang tersesat." Sudah barang tentu, dalam kitab-kitab sejarah ada banyak contoh. Dari sekarang sampai berikutnya, saya akan menukil dari kitab sejarah Ibnu Atsir; saya tidak akan menukil dari sumber-sumber Syi'ah, saya pun tidak akan merujuk sumber-sumber sejarah Ahli Sunnah yang riwayat mereka oleh Ahli Sunnah sendiri masih diragukan seperti Ibnu Qutaibah. Ibnu Qutaibah Daynuri dam kitab ‘Al-Imamah wa Al-Siyasah' mencatat hal-hal aneh dan semua itu tidak akan saya singgung.
Ketika seseorang merujuk kitab ‘Kamil Al-Tawarikh' karya Ibnu Atsir, ia akan menemukan betapa karyanya ini mengandung fanatisme Bani Umayyah dan dan Utsmaniyyah. Namun, menurut saya, ada kemungkinan ia bersikap toleran karena alasan-alasan tertentu. Dalam peristiwa ‘Yaum Al-Dar' dimana Khalifah Utsman dibunuh oleh orang-orang Mesir, Kufah, Bashrah, Madinah dan warga kota-kota lainnya, dan setelah membawakan berbagai riwayat, Ibnu Atsir mengatakan bahwa sebab peristiwa ini adalah faktor-faktor ‘yang tidak ingin saya uraikan'. Ketika ia membawakan kejadian sahabat mulia Abu Dzar lalu ia mengatakan bahwa Mu'awiyah menaikkan Abu Dzar ke unta tanpa perbekalan dan dalam keadaan itulah mengirimkannya hingga ke Madinah lalu dibuang ke Rabadzah, di sini ia menuliskan ‘ada hal-hal yang telah terjadi dan saya tidak ingin mencatatnya'. Yang demikian ini entah apakah Ibnu Atsir benar-benar - dalam istilah kita sekarang - punya sistem autosensor, ataukah ia melakukan hal itu karena fanatisme. Yang jelas, ia bukan orang Syi'ah, juga tidak punya hubungan dengan kesyi'ahan. Dia seorang yang bahkan mungkin juga punya hubungan dengan Bani Umayyah dan Utsmaniyyah. Apa yang dari sekarang akan saya sampaikan; semuanya dari Ibnu Atsir ini.
Ada beberapa contoh dari kalangan khusus; apa yang terjadi pada mereka ini selama lima puluh tahun itu sehingga situasinya sampai sedemikian buruknya? Ketika saya mencermati, saya melihat ada goncangan pada empat garis dasar itu; penghambaan diri [kepada Allah], pengetahuan, keadilan dan kecintaan. Saya akan membawakan contoh-contoh ini sesuai dengan redaksi sejarah. Sa'id bin ‘Ash adalah salah satu anggota Bani Ummayah dan dari sanak keluarga Utsman. Setelah Walid bin Uqbah bin Abu Mu'ith - yaitu orang yang kalian saksikan dalam film serial Imam Ali sekaitan dengan pembunuhan penyihir di hadapannya - Sa'id bin ‘Ash naik berkuasa untuk memperbaiki kesalahan yang dilakukan oleh Walid. Dalam ruang pertemuannya, ada seseorang mengatakan, ‘Betapa dermawannya Thalhah itu!' Maksudnya adalah Thalhah bin Ubaidillah. Tentu, dia memberikan sekian uang kepada seseorang, atau dia memberikan kepada orang-orang yang dia kenal. Maka Sa'id membalas, ‘Sesungguhnya orang yang memiliki Nisyastej itu pantas sekali menjadi orang dermawan."
Ada sebuah ladang yang sangat besar bernama Nisyastej di sekitar kota Kufah, dan mungkin Nesyasteh yang kita kenal dalam bahasa kita juga berasal dari nama ini. Di sekitar Kufah, ada daerah yang makmur dan subur. Ladang luas ini milik Thalhah; seorang sahabat Rasulullah SAW di Madinah. Sa'id bin ‘Ash mengatakan,
واللَّه لو ان لى مثله لاعاشكم اللَّه به عيشا رغدا
"Orang yang punya kekayaan seperti ini tentu seorang dermawan. Dan demi Allah, andai saja aku punya sepertinya, aku akan memberikan kelapangan dalam hidup kalian; itu bukanlah apa-apa sehingga kalian mengatakan dia itu orang yang dermawan." Sekarang, kalian bandingkan ini dengan kezuhudan masa Rasulullah SAW dan kezuhudan di awal-awal ketiadaan Rasulullah SAW, dan kalian perhatikan tokoh-tokoh, pemimpin-pempimpin dan para sahabat dalam beberapa tahun itu; bagaimana mereka itu hidup dan dengan mata apa mereka melihat dunia? Lalu, setelah lewat sepuluh atau lima belas tahun, kondisi berakhir sampai sedemikian mengenaskan.
Contoh berikutnya adalah Abu Musa Al-Asy'ari; yaitu Abu Musa yang terkenal dalam kasus ‘Tahkim'. Orang-orang ingin pergi ke medan jihad, lalu ia segera naik mimbar dan mendorong masyarakat untuk berjihad. Ia berbicara banyak tentang keutamaan jihad dan pengorbanan. Banyak dari masyarakat yang tidak punya kuda untuk ditunggangi. Setiap orang harus pergi dengan menunggangi kudanya sendiri. Supaya para pejuang pejalan kaki mau pergi, Abu Musa membesar-besarkan keutamaan jihad berjalan kaki, ‘Berjihad dengan berjalan kaki sungguh mulia, demikian dan demikian keutamaannya!' Sedemikian rupa mulut dan nafas menghangatkan dorongan-dorongan itu hingga ada sekelompok orang dari mereka yang punya kuda mengatakan bahwa kita juga akan berjalan kaki, dan kuda-kuda ini telah membuat kami kehilangan pahala yang banyak; kami ingin pergi berperang dengan berjalan kaki supaya pendapatkan pahala-pahala besar ini!
Ada juga sekelompok orang yang sedikit mau berpikir banyak. Mereka mengatakan, ‘Tunggu dulu! Jangan tergesa-gesa! Kita lihat dulu; seorang pimimpin yang berbicara seperti itu tentang jihad berjalan kaki bagaimana dia sendiri keluar dari rumahnya? Kita perhatikan apakah perbuatannya juga seperti ucapannya ataukah tidak? Setelah itu, kita ambil keputusan berjalan kaki atau menunggang.' Ini redaksi dari Ibnu Atsir. Ia menuliskan, "Ketika Abu Musa keluar dari istananya, ia membawa barang-barang berharga dari istananya di atas empat puluh unta dan menuju ke medan jihad." Pada masa itu, tidak ada bank, dan tidak ada jaminan kelanggengan kekuasaan. Mungkin ketika perang tengah berkecamuk, tiba-tiba berita datang dari khalifah bahwa engkau telah dimakzulkan dari pemerintahan Bashrah. Orang-orang tidak akan membiarkan ia bisa datang lagi dan mengambil semua barang berharga itu dari dalam istana. Jadi, ke manapun pergi, ia terpaksa membawanya. Empat puluh unta adalah barang-barang berharga miliknya yang ia angkut lalu ia keluarkan dari dalam istana lantas dibawa ke medan perang!
Ketika Abu Musa keluar, orang-orang yang pergi jihad dengan berjalan kaki mendekatinya lalu menarik tali kekang kudanya. Mereka mengatakan, "Naikkan kami ke atas kekayaan-kekayaan yang berlebihan ini! Apa yang sedang engkau bawa ini ke medan perang? Kita ini berjalan kaki. Bawa kita naik! Berjalan kakilah sebagaimana engkau membujuk kami untuk berjalan kaki!" Akan tetapi, Abu Musa menyabet mereka dengan cambuknya dan mengatakan, "Pergilah! Tidak ada gunanya kalian berkata seperti itu!" Lalu orang-orang meninggalkannya. Akan tetapi, mereka tentu saja tidak tahan. Mereka datang ke Madinah menemui Utsman dan mengadu kepadanya, kemudian ia pun memecat Abu Musa dari jabatannya. Abu Musa ini adalah salah satu sahabat Rasulullah SAW; salah satu dari kalangan khusus dan tokoh, namun demikianlah kenyataannya!
Contoh ketiga adalah Sa'ad bin Abi Waqqash. Ia pernah menjadi gubernur di Kufah. Dan ia pernah meminjam dari Baitul Mal (kas negara). Pada masa itu, Baitul Mal tidak berada di tangan penguasa, akan tetapi khalifah mempercayakannya kepada seseorang untuk mengelola urusan-urusan masyarakat. Juga ada satu orang yang diangkat oleh khalifah sebagai kepala bidang kekayaan negara dimana dia bertanggung jawab langsung kepada Khalifah sendiri. Yang menjadi gubernur di Kufah pada masa itu adalah Sa'd bin Abi Waqqash, sedangkan kepala Baitul Mal adalah Abdullah bin Mas'ud; salah seorang sahabat besar Nabi SAW dan berkedudukan tinggi. Sa'd pernah meminjam sejumlah uang dari Baitul Mal - seberapa ribu dinar, saya tidak tahu persis - namun ia tidak menunaikan hutangnya dan tidak mengembalikan penjamannya itu. Maka Abdullah bin Mas'ud menagihnya dan mengatakan, "Bayarlah uang Baitul Mal!" Sa'd bin Abi Waqosh membalas, 'Aku tidak punya uang." Terjadilah perang mulut dan pertikaian di antara mereka. Namun, seorang sahabat Amirul Mukminin [Ali bin Abu Thalib AS] dan orang yang sangat mulia bernama Hasyim bin Utbah bin Abi Waqqash maju merelai mereka dan mengatakan, "Ini tidak baik. Kalian berdua ini sahabat Rasulullah SAW. Masyarakat masih melihat kalian. Jangan bertikai, dan selesaikan perkara ini dengan cara lain! Ketika Abdullah bin Mas'ud melihat tidak bisa berbuat apa-apa, ia pergi keluar.
Bagaimanapun, ia adalah seoang lelaki yang terpercaya. Ia pergi menemui sekelompok masyarakat dan berseru, "Tariklah keluar harta itu dari dalam rumahnya!" Dan ternyata ada harta di dalam rumah Sa'd. Lalu orang-orang mengabarkan kejadian kepada Sa'd. Maka ia juga mengirim sekelompok orang dan memerintahkan, "Pergilah ke sana dan jangan biarkan mereka!" Jadi, karena Sa'd bin Abi Waqqash tidak membayar utangnya ke Baitul Mal, terjadilah pertikaian besar. Padahal, Sa'd bin Abi Waqqash ini adalah salah satu anggota dewan Syura; dia bagian dari enam anggota dewan; dia salah satu dari mereka. Namun, setelah beberapa tahun saja, keadaannya sampai sedemikian ini. Ibnu Atsir menuliskan, "Ini adalah pertikaian pertama yang terjadi di tengah penduduk Kufah", karena adalah salah seorang dari kalangan tokoh hidup demikian dalam mencintai dunia dan ia menunjukkan dirinya demikian secara tak sadar!
Kejadian lainnya, orang-orang Muslim pergi menuju Afrika; yaitu negeri Tunisia dan Maroko. Mereka menaklukannya dan membagikan harta rampasan perang kepada masyarakat dan pasukan perang. Mereka juga harus mengirimkan khumus (seperlima) dari harta rampasan perang itu. Dalam karya Ibnu Atsir itu tercatat bahwa khumus itu sudah banyak. Memang, di sini Ibnu Atsir tidak menukilkan hal ini, akan tetapi di tempat lain, ia membawakan kisah penaklukan ini dan menuliskan bahwa khumus itu banyak dan mereka mengirimkannya ke Madinah. Ketika harta khumus sampai di Madinah, Marwan bin Hakam datang dan mengatakan, "Aku beli semuanya seharga lima ratus ribu dirham." Maka khalifah pun menjualnya kepada Marwan! Lima ratus ribu dirham bukan uang sedikit. Tetapi, harta khumus itu juga masih jauh lebih berharga dari jumlah uang ini. Kejadian ini adalah salah satu kasus yang kemudian masyarakat memprotes khalifah. Ya, khalifah membawakan alasan dan mengatakan, "Ini demi silaturahmi kepada saudara; aku bersilaturahmi kepadanya, karena keadaan hidupnya tidak baik; aku ingin membantunya." Begitulah kalangan tokoh hanyut dalam kekayaan dunia.
Kasus berikutnya, Walid bin Uqbah bin Abu Mu'ith yang diangkat menjadi gubernur di Kufah. Walid bin Uqbah ini yaitu Walid yang biasa kalian kenal sebagai gubernur Kufah setelah Sa'd bin Abi Waqqash. Dia juga dari keluarga Bani Umayyah dan dari kerabat khalifah masa itu. Ketika ia tiba [di Kufah], masyarakat terheran-heran. Ada apa ini? Bagaimana orang ini bisa dijadikan gubernur?! Karena, Walid selain dikenal dengan kedunguannya, kebusukannya juga terkenal. Walid ini adalah orang yang disinggung oleh ayat yang mulia,
ان جاءكم فاسق بنبأ فتبيّنوا
"Jika datang kepada kalian seorang fasik dengan membawa suatu berita, maka periksalah."
Al-Quran menyebutnya dengan nama 'orang fasik', karena dia membawa sebuah berita sehingga sebagian orang terancam bahaya, kemudian turunlah ayat, "Jika datang kepada kalian seorang fasik dengan membawa suatu berita, maka periksalah", jika seorang fasik datang membawa sebuah berita, maka selidikilah; jangan percaya pada kata-katanya. Orang fasik itu adalah Walid ini. Dan ini terjadi pada masa Rasulullah SAW.
Coba kalian perhatikan bagaimana norma-norma, nilai-nilai dan perubahan orang-orang! Orang yng pada masa Rasulullah itu dan dalam Al-Quran disebut dengan nama 'orang fasik' dimana Al-Quran ini sendiri yang setiap hari dibaca oleh masyarakat, ternyata dia menjadi gubernur di Kufah! Baik Sa'd bin Abi Waqosh maupun Abdullah bin Mas'ud; mereka berdua sama-sama heran. Ketika melihat Walid, Abdullah bin Mas'ud mengatakan,
ماادرى اصلحت بعدنا ام فسد النّاس
"Aku tidak tahu; apakah setelah kami, kamu sudah menjadi baik atau masyarakat sudah menjadi rusak." Kamu bukan orang baik, masyarakat juga sudah rusak hingga mereka mengutus orang sepertimu ke sebuah kota sebagai gubernur. Sa'd bin Abu Waqqash dari sisi lain juga terheran-heran. Ia mengatakan, "Apakah di hadapanku kamu telah menjadi orang pandai atau kita ini bodoh di hadapanmu", kau yang dulu orang dungu, apakah lalu sekarang sudah jadi orang pintar, ataukah kami sudah sebegitu bodohnya sehingga mereka mengutamakanmu di atas kami?!
Walid berbalik dan menjawabnya, "Jangan merasa kesal, wahai Sa'd! Semua itu tidak ada yang benar; aku tidak pintar, dan kau pun bukan orang bodoh. Akan tetapi, masalahnya hanyalah kerajaan...!" Lihatlah perubahan dari pemerintahan Ilahi ini. Kekhalifahan dan wilayah ilahi diubah menjadi kerajaan dan ini adalah peristiwa yang sangat mengejutkan. [Ia melanjutkan], "... yang hari ini dipegang oleh sekelompok orang, dan pada hari esoknya dipegang oleh kelompok lain." Bagaimanapun, Sa'd bin Abu Waqqash adalah salah seorang sahabat Nabi SAW. Baginya, jawaban ini sangat menusuk telinga; bahwa masalahnya ternyata kerajaan. [Ibnu Atsir menulis], "Maka Sa'd berkata, 'Aku melihat kalian telah mengubah kekhalifahan menjadi kerajaan!'"
Pada suatu saat, khalifah Umar pernah berkata kepada Salman, "Menurutmu, apakah aku ini raja ataukah khalifah?" Salman adalah orang besar dan sangat terpandang. Ia seorang sahabat yang sangat mulia. Pandangan dan penilaiannya sangat penting. Oleh karena itu, Umar pada masa kekhalifahannya melontarkan pertanyaan ini kepadanya. "Maka Salman berkata kepadanya,
ان انت جبيت من ارض المسلمين درهماً او اقلّ او اكثر و وضعته فى غير حقّه فانت ملك لا خليفة
"Jika dari kekayaan masyarakat Islam, engkau mengambil [pajak] kurang dari satu dirham atau lebih dari itu, lalu engkau menyalurkannya bukan pada tempat yang semestinya, maka engkau adalah raja; bukan seorang khalifah."
[Dengan demikian], Salman telah menjelaskan kriterianya.
Dalam riwayat Ibnu Atsir terdapat redaksi, "Maka, Umar pun menangis." Benar-benar sebuah nasihat yang luar biasa. Masalahnya adalah kekhalifahan. Kekhalifahan yang sebuah pemerintahan yang sejalan dengan kecintaan, sejalan dengan keseutuhan dengan rakyat, sejalan dengan kasih sayang terhadap tiap-tiap anggota masyarakat; bukan semata-mata pemerintahan dan kekuasaan. Adapun kerajaan tidaklah demikian. Kerajaan tidak punya urusan dengan rakyat. Raja adalah seorang penguasa dan pemerintah; dia akan melakukan apa saja yang dia inginkan.
Ini semua berkaitan dengan kalangan tokoh. Selama beberapa tahun itu, mereka telah berbuat sampai sedemikian rupa. Tentu, semua ini terjadi pada masa-masa empat khalifah rasyidin dimana mereka sendiri berwaspada, menjaga hukum, mencurahkan perhatian dan sekian tahun lamanya hidup bersama Rasulullah SAW. Seruan Rasulullah sampai saat itu masih menggema di Madinah, dan orang seperti Ali bin Abu Thalib as juga masih hidup di tengah masyarakat. Namun, ketika pemerintahan berpindah ke Syam, hal-hal ini sudah tidak ada lagi bekasnya. Semua ini adalah contoh-contoh kecil dari kalangan tokoh. Tentu saja, jika seseorang meneliti [permasalahan ini] dalam sejarah Ibnu Atsir atau dalam sumber-sumber lain yang diakui oleh semua saudara-saudara Ahli Sunnah kita, maka bukan hanya ratusan contoh, kita bahkan akan mendapatkan ribuan kasus semacam tadi.
Jelas sekali, ketika keadilan sudah tidak ada; ketika penghambaan diri [kepada Allah] sudah tidak ada, dan masyarakat menjadi rapuh, ketika itulah pikiran-pikiran pun menjadi rusak, yaitu dalam masyarakat dimana persoalan meraup kekayaan dan kecenderungan kepada harta duniawi serta keterikatan hati kepada keuntungan-keuntungan dunia sampai pada kondisi-kondisi seperti itu; dalam masyarakat dimana ada yang menjadi penyampai ilmu agama kepada masyarakat adalah orang seperti Ka'ab Al-Ahbar maka demikianlah keadaannya. Ka'ab Al-Ahbar adalah seorang Yahudi yang baru masuk Islam dan tak pernah berjumpa dengan Rasulullah. Pada masa Rasulullah, dia belum masuk Islam, pada masa Abu Bakar juga dia tidak masuk Islam. Baru pada masa Umar, ia menjadi muslim, dan meninggal dunia pada masa Utsman. Sebagian orang menyebutnya dengan nama Ka'ab Al-Akhbar. Ini salah. Yang benar adalah Ka'ab Al-Ahbar. Ahbar bentuk jamak dari hibr yang berarti rabbi Yahudi.
Ka'ab ini adalah rabbi terkemuka di tengah para rabbi Yahudi yang kemudian masuk Islam, lalu ia berbicara tentang ajaran-ajaran Islam. Ketika ia hadir di majelis pertemuan Utsman, Abu Dzarr datang. Dan ketika ia berkata sesuatu, Abu Dzarr marah dan mengatakan, "Rupanya engkau sudah mulai mengajari kita tentang Islam dan hukum-hukumnya! Kita sudah mendengar hukum-hukum ini langsung dari Rasulullah." Ketika kriteria-kriteria hilang; ketika nilai-nilai itu melemah; ketika hal-hal yang tampak itu rapuh; ketika nafsu rakus duniawi dan pemujaan harta berkuasa atas orang-orang - yang telah menghabiskan umur dengan mulianya, melewatkan sekian tahun lamanya tanpa peduli terhadap kenikmatan-kenikmatan duniawi, dan mereka telah mampu menegakkan panji kebesaran - ketika itulah dalam dunia budaya dan pengetahuan, ada seseorang yang menjadi sumber ilmu-ilmu Ilahi dan Islam; orang yang baru saja masuk Islam dan mengatakan apa saja yang dia pahami, bukan apa yang diajarkan Islam, sementara ada sebagian orang yang lebih mengutamakan ucapannya di atas ucapan orang-orang Muslim yang berprestasi.
Ini semua tentang kalangan tokoh. Lalu orang awam, yang ikut dengan kalangan tokoh, bergerak di belakang mereka kapan pun mereka berjalan ke suatu arah. Dosa terbesar para tokoh dan orang-orang terkemuka ialah jika ada penyimpangan yang dilakukan oleh mereka, maka penyimpangan ini mengakibatkan penyelewengan kebanyakan orang. Ketika kalian melihat bendungan-bendungan itu jebol; ketika kalian melihat tindakan-tindakan mereka - yang bertentangan dengan apa yang mereka katakan itu dan bertentangan dengan sabda-sabda yang dinukil dari Rasulullah - itu terus dilakukan, maka masyarakat juga akan berjalan ke arah yang sama. Di samping itu, ada juga kasus yang dilakukan oleh kalangan awam, yaitu seorang gubernur Bashrah pernah menulis surat kepada khalifah, "Kami membagikan pajak-pajak yang kami ambil dari negeri-negeri yang ditaklukkan kepada masyarakat. Akan tetapi, pajak itu sedikit, sedangkan masyarakat di sana banyak. Jadi, beri kami harta seukuran harta yang diberikan kepada dua kota."
Ketika warga Kufah mendengar Gubernur Bashrah - bahwa dia telah mengambil pajak dua kota untuk rakyatnya sendiri - mereka segera pergi menemui gubernur mereka. Siapa gubernur warga Kufah itu? Ammar bin Yasir; manusia yang komit dengan nilai-nilai agama dan teguh bagaikan gunung dan berdiri kokoh. Tentu, ada orang-orang sepertinya; mereka yang tak pernah goyah; tetapi mereka ini tidak banyak. Warga [Kufah] datang kepada Ammar bin Yasir dan mengatakan, "Kamu juga hendaknya menuntut seperti [gubernur Bashrah] itu untuk kami, dan ambillah [pajak] dua negeri untuk kami." Ammar menjawab, "Aku tidak akan berbuat demikian." Mereka lantas bermaksud untuk menyerang Ammar dan menghujatnya. Lalu mereka menulis surat [kepada khalifah]. Akhirnya, khalifah memecat Ammar. Kejadian seperti [Ammar] ini juga dialami oleh Abu Dzarr dan beberapa orang yang lain. Abdullah bin Mas'ud mungkin juga termasuk salah satu dari orang-orang ini. Ketika pemimpin-pemimpin ini tidak dipatuhi, maka masyarakat dari segi nilai dan kriteria menjadi rapuh. Di sinilah letak pentingnya memetik pelajaran.
Saudara-saudaraku! Orang akan lambat memahami perubahan masyarakat ini; [karena itu] ia harus waspada. Inilah takwa, yaitu orang-orang yang wilayah kekuasaan mereka adalah diri mereka sendiri, maka mereka ini harus waspada pada lingkup itu. Orang-orang yang wilayah kekuasaannya lebih luas dari diri mereka sendiri harus mewaspadai diri mereka sendiri juga mewaspadai orang lain. Mereka yang berada di pucuk kekuasaan harus mewaspadai diri mereka juga mewaspadai segenap masyarakat agar tidak bergerak ke arah kerakusan dunia, ke arah kenikmatan duniawi dan ke arah kepentingan diri sendiri. Ini bukan artinya tidak menyejahterakan masyarakat. Justru mereka itu harus memakmurkan masyarakat dan menghasilkan kekayaan yang banyak, akan tetapi hendaknya tidak rakus menguasainya untuk diri sendiri, karena ini adalah tindakan yang buruk sekali. Setiap orang yang bisa membuat masyarakat Islam menjadi kaya dan melakukan kerja-kerja besar, pasti dia mendapatkan pahala yang besar.
Dan orang-orang ini yang Alhamdulillah bisa membangun negara dalam beberapa tahun ini; yang menegakkan panji pembangunan di dalam negeri ini; melakukan kerja-kerja besar, mereka ini terus melakukan kerja-kerja yang sangat bagus; mereka bukan orang-orang yang rakus dunia. Rakus dunia ialah seseorang yang menginginkan segala sesuatu untuk diri sendiri, bekerja demi diri sendiri, menumpuk kekayaan dari Baitul Mal atau dari sumber lainnya untuk diri sendiri. Ini jelek sekali. Kita harus waspada. Semua harus waspada supaya tidak terjadi demikian. Kalau tidak ada kewaspadaan, pada saat itulah masyarakat akan mengalami kekosongan nilai-nilai mulia secara bertahap hingga sampai pada satu kondisi dimana yang tersisa hanya kulit luarnya saja, lalu tiba-tiba ada sebuah ujian besar - berupa kebangkitan Abu Abdillah (Imam Husain as), ketika itulah masyarakat tersebut akan gagal dalam menghadapi ujian ini!
Penguasa masa itu mengatakan, 'Aku akan berikan kekuasaan negeri Rey kepadamu.' Pada masa itu, Rey adalah sebuah kota yang sangat besar dan banyak penghasilannya. Kekuasaannya juga bukan seperti kekuasaan atas sebuah provinsi di zaman ini. Sekarang, para gubernur atau pimpinan provinsi kita adalah seorang pejabat pemerintahan; mereka mendapatkan gaji dan bekerja keras. Tapi, pada zaman itu, keadaannya tidak seperti ini. Seseorang yang memerintah di suatu kota, yakni semua sumber-sumber penghasilan kota itu berada di dalam kewenangannya; lalu sebagian dari hasilnya dikirimkan ke pusat dan sisanya berada di bawah wewenangnya. Dia bisa melakukan pekerjaan apa saja yang dia inginkan. Oleh karena itu, [pemerintahan di suatu kota saja] sangat penting baginya. Lalu penguasa [masa itu] mengatakan, jika kamu tidak memerangi [Imam] Husain bin Ali, maka pemerintahan di Rey tidak akan jatuh ke tanganmu. Di sinilah seorang yang teguh dengan prinsip tidak akan berpikir sepintas pun dan dengan tegas akan mengatakan, "Enyahlah dan ambillah Rey! Apa arti Rey?"
Kalaupun semua dunia ini engkau berikan kepadaku, aku tidak akan pernah bermuka masam kepada Husain bin Ali. Aku tidak akan menunjukkan wajah garang kepada putra tercinta [Fathimah] Zahra as. Akankah aku pergi membunuh [Imam] Husain bin Ali dan anak-anaknya hanya supaya kalian memberikan kekuasaan Rey kepadaku?! Beginilah orang yang teguh dengan prinsip. Akan tetapi, ketika orang yang mendapat tawaran kehilangan jiwanya; ketika masyarakat jauh dari nilai-nilai mulia; ketika garis-garis besar dalam masyarakat itu sudah lemah, maka tangan dan kakinya akan tergelincir. Ya, maksimalnya, dia akan berpikir dulu untuk satu malam, yaitu ketika mereka mendesak keras dan memberi waktu satu malam sampai subuh untuk menimbang-nimbang! Kalaupun dia berpikir satu tahun, tetap saja dia akan mengambil keputusan yang sama. Cara berpikir ini tidak ada artinya. Satu malam dia berpikir, pada akhirnya dia mengatakan, 'Baiklah, saya menginginkan kekuasaan Rey.' Namun ternyata, Allah SWT pun tidak memberikan negeri itu kepadanya. Ketika itulah, saudara-saudaraku! tragedi Karbala itu terjadi.
Pada kesempatan ini, saya harus berbicara sedikit tentang analisa tragedi Asyura walaupun hanya sekilas. Orang seperti [Imam] Husain bin Ali as. - yang dirinya adalah perwujudan dari nilai-nilai kemuliaan - melakukan kebangkitan untuk memerangi kemerosotan ini, karena kemerosotan itu telah berlangsung hingga sampai pada kondisi dimana tidak ada lagi [nilai] yang tersisa semikian rupa sehingga kalau suatu saat, masyarakat dan kaum Muslimin ingin hidup dengan baik, maka tidak ada sesuatu apa pun yang dapat mereka pegang. Imam Husain bangkit, berjuang, bergerak dan melawan seorang diri terhadap laju keruntuhan yang begitu cepat menukik itu. Tentu, dalam misi ini, beliau mengorbankan jiwanya, jiwa orang-orang tercintanya, jiwa Ali Ashghar-nya; jiwa Ali Akbar-nya; jiwa Abbas-nya, dan beliau memetik hasilnya.
[Dalam Sabda Nabi SAW], "Dan aku dari Husain", yakni agama Nabi SAW adalah hidupnya Imam Husain bin Ali. Ini satu sisi dari lembaran itu. Satu sisi lembaran itu ialah peristiwa besar, semangat juang yang begitu mendidih dan pengalaman cinta di Asyura sehingga kejadian-kejadian di Karbala benar-benar tidak bisa dipahami kecuali dengan logika cinta dan dengan mata cinta. Kita harus melihat dengan mata cinta hingga dapat memahami apa yang telah dilakukan [Imam] Husain bin Ali dalam - kurang lebih - satu malam dan setengah hari atau kira-kira sehari semalam - dari waktu ashar hari Tasu'a (hari kesembilan Muharram) sampai waktu ashar 'Asyura (hari kesepuluh Muharram) - dan betapa beliau telah menciptakannya sedemikian agungnya. Oleh karena itu, beliau tetap hidup di dunia dan akan tetap hidup selama-lamanya. Banyak pihak yang berusaha mengubur tragedi Asyura hingga dilupakan orang, namun mereka tidak mampu.
(Pidato shalat Jumat di Tehran, 8 Mei 1998)
Sumber : http://indonesian.khamenei.ir

Post a Comment