Argumentasi Klasik Adanya Allah
Cendekiawan Muslim Jalaluddin Rakhmat mengatakan, sebelum menjawab masalah filosofis di mana pemeliharaan Tuhan yang jadi alasan ucapan alhamdulillah, marilah mengulangi argumentasi klasik tentang adanya Allah dengan melihat keteraturan alam semesta ini: bahwa semua ini mesti ada yang mengurusnya.
Tapi, menurutnya, amat sulit sebenarnya menjelaskan seluruh peristiwa keteraturan ini tanpa menjelaskan adanya sesuatu di baliknya. “Saya ingin menceritakan kembali sebuah cerita,” ujarnya.
Dahulu, kata Jalal, pada zaman keemasan Islam, ketika kebebasan berpendapat sangat dihormati, dan secara bersamaan orang-orang Yahudi dikejar-kejar, serta orang-orang Nasrani tidak bisa menjalankan agamanya dengan baik, mereka semua berlindung di balik perlindungan Islam dan mereka bisa mengembangkan pemahamannya. Yang dilindungi bukan hanya orang Yahudi dan Nasrani, tapi juga orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan atau atheis.
Pada zaman keemasan Islam, kata dia, terjadilah perdebatan yang sangat menarik di antara para atheis dengan para ulama. Kalau tidak salah, salah satu ulama yang dimaksud adalah Hasan Al-Bashri. Ditentukanlah satu hari di mana the great debate (perdebatan besar) akan dilaksanakan di kota Bagdad. Semua orang boleh hadir tanpa harus membayar.
Pembicara dari kalangan Zindiq (orang yang tidak percaya kepada Tuhan) sudah berdiri di atas mimbar. Ia sudah membuktikan kesalahan tentang adanya Tuhan. Katanya, Tuhan tidak ada. Waktu itu, Hasan al-Bashri belum kunjung datang.
Si Zindiq semakin semakin berkacak pinggang di atas mimbar. Ia mengatakan bahwa Hasan Al-Bashri tidak mempunyai hujjah yang kuat dan karenanya tidak berani berdebat. Konon, perdebatan itu, dilangsungkan dengan persetujuan Raja dengan konsekuensi yang kalah harus dipotong kepalanya. Sehingga orang-orang berkata, “Wah, mungkin Hasan Al-Bashri takut kepalanya dipotong, karena kalah dalam berdebat.”
Menjelang zuhur, Hasan Al-Bashri datang tergopoh-gopoh. Ia ditanya dan dimaki oleh Zindiq itu dari atas mimbar, “Mengapa kamu terlambat?” Hasan al-Bashri menjawab, “Saya berangkat pagi hari dari rumah. Seperti Anda ketahui antara rumah saya dan tempat ini dihalangi oleh sungai Dajlah, sungai yang sangat besar.
Waktu saya datang ke sungai itu, tidak ada kendaraan yang dapat menyebrangkan saya. Saya juga tidak bisa berenang. Jadi, saya menunggu di tepi sungai. Setelah saya sekian lama berdoa, agar bisa datang tepat pada waktunya, tiba-tiba saya melihat pecahan-pecahan papan tersebar di seluruh permukaan sungai. Kemudian pecahan-pecahan itu berkumpul satu sama lain, dan akhirnya membentuk sebuah perahu dan saya pun menaikinya.”
Segera si Zindiq berteriak, “Takhayul! Mana mungkin pecahan-pecahan papan dapat berkumpul dan dapat membentuk perahu dengan sendirinya?” Al-Bashri menjawab, “Mana mungkin juga seluruh alam semesta ini berkumpul satu sama lain dengan sendirinya dan membentuk seluruh sistem yang sangat menakjubkan? Mana mungkin darah, daging, dan tulang dapat berkumpul menjadi kamu?”
Dengan jawaban itu, terputuslah argumentasi si Zindiq yang sudah ia pertahankan sejak pagi karena ia membantah bahwa tidak mungkin perahu dapat terjadi dengan sendirinya, padahal apalah artinya perahu dibandingkan alam semesta. Bila perahu yang amat kecil saja perlu ada pembuatnya, apalagi seluruh alam semesta ini. Itulah argumentasi yang paling utama yang bisa dipahami siapapun.
Tapi, menurutnya, amat sulit sebenarnya menjelaskan seluruh peristiwa keteraturan ini tanpa menjelaskan adanya sesuatu di baliknya. “Saya ingin menceritakan kembali sebuah cerita,” ujarnya.
Dahulu, kata Jalal, pada zaman keemasan Islam, ketika kebebasan berpendapat sangat dihormati, dan secara bersamaan orang-orang Yahudi dikejar-kejar, serta orang-orang Nasrani tidak bisa menjalankan agamanya dengan baik, mereka semua berlindung di balik perlindungan Islam dan mereka bisa mengembangkan pemahamannya. Yang dilindungi bukan hanya orang Yahudi dan Nasrani, tapi juga orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan atau atheis.
Pada zaman keemasan Islam, kata dia, terjadilah perdebatan yang sangat menarik di antara para atheis dengan para ulama. Kalau tidak salah, salah satu ulama yang dimaksud adalah Hasan Al-Bashri. Ditentukanlah satu hari di mana the great debate (perdebatan besar) akan dilaksanakan di kota Bagdad. Semua orang boleh hadir tanpa harus membayar.
Pembicara dari kalangan Zindiq (orang yang tidak percaya kepada Tuhan) sudah berdiri di atas mimbar. Ia sudah membuktikan kesalahan tentang adanya Tuhan. Katanya, Tuhan tidak ada. Waktu itu, Hasan al-Bashri belum kunjung datang.
Si Zindiq semakin semakin berkacak pinggang di atas mimbar. Ia mengatakan bahwa Hasan Al-Bashri tidak mempunyai hujjah yang kuat dan karenanya tidak berani berdebat. Konon, perdebatan itu, dilangsungkan dengan persetujuan Raja dengan konsekuensi yang kalah harus dipotong kepalanya. Sehingga orang-orang berkata, “Wah, mungkin Hasan Al-Bashri takut kepalanya dipotong, karena kalah dalam berdebat.”
Menjelang zuhur, Hasan Al-Bashri datang tergopoh-gopoh. Ia ditanya dan dimaki oleh Zindiq itu dari atas mimbar, “Mengapa kamu terlambat?” Hasan al-Bashri menjawab, “Saya berangkat pagi hari dari rumah. Seperti Anda ketahui antara rumah saya dan tempat ini dihalangi oleh sungai Dajlah, sungai yang sangat besar.
Waktu saya datang ke sungai itu, tidak ada kendaraan yang dapat menyebrangkan saya. Saya juga tidak bisa berenang. Jadi, saya menunggu di tepi sungai. Setelah saya sekian lama berdoa, agar bisa datang tepat pada waktunya, tiba-tiba saya melihat pecahan-pecahan papan tersebar di seluruh permukaan sungai. Kemudian pecahan-pecahan itu berkumpul satu sama lain, dan akhirnya membentuk sebuah perahu dan saya pun menaikinya.”
Segera si Zindiq berteriak, “Takhayul! Mana mungkin pecahan-pecahan papan dapat berkumpul dan dapat membentuk perahu dengan sendirinya?” Al-Bashri menjawab, “Mana mungkin juga seluruh alam semesta ini berkumpul satu sama lain dengan sendirinya dan membentuk seluruh sistem yang sangat menakjubkan? Mana mungkin darah, daging, dan tulang dapat berkumpul menjadi kamu?”
Dengan jawaban itu, terputuslah argumentasi si Zindiq yang sudah ia pertahankan sejak pagi karena ia membantah bahwa tidak mungkin perahu dapat terjadi dengan sendirinya, padahal apalah artinya perahu dibandingkan alam semesta. Bila perahu yang amat kecil saja perlu ada pembuatnya, apalagi seluruh alam semesta ini. Itulah argumentasi yang paling utama yang bisa dipahami siapapun.
Post a Comment