Refleksi Pemilu Indonesia
Jalan Incang-incut
Islam Times- Pesan-pesan kebencian seperti itu jelas tidak datang dari seorang ulama yang mewarisi watak, sikap dan perilaku Nabi Suci ‘yang diutus tiada lain kecuali sebagai rahmat’. Bahasa yang terkandung dalam pesan-pesan itu, atau yang senada dengannya, sebenarnya menunjukkan dengan tegas watak dan kepribadian pembawa pesannya.

TIAP JELANG PEMILU, Muslimin kerap dihebohkan dengan segala rupa argumen, analisis, himbauan, ancaman dan doktrin yang digoreng untuk kepentingan-kepentingan politik jangka pendek. Juru masaknya bisa dari mana saja dan siapa saja, termasuk, ironisnya, kalangan ulama. Jika mau jujur, justru kegilaan tingkat dewa kerap terjadi di kalangan yang paling diharapkan kewarasannya itu: ulama.
Salah satu tokoh yang getol menggairahkan suhu politik, dan seperti tak ingin ketinggalan kereta kencana kekuasaan, tak lain tak bukan adalah Ketua Majlis Ulama Indonesia, Ma’ruf Amin. Doktor honoris causa ini ikut meramaikan pesta demokrasi dengan sejumlah gimik di media massa, termasuk iklan teve mendukung teman seperjuangannya, Prof. Mahfud MD.
Kantor berita Antara melaporkan juga Ma'ruf terang-terangan mengajak warga Nahdlatul Ulama memilih Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). "Warga NU di partai lain namanya numpang, maka sebaiknya naik kendaraan sendiri yakni PKB," kata Ma’ruf yang juga Ketua Dewan Syuro PKB awal April silam.
Ma’ruf juga menyimpan sinisisme. Dia bilang PKB satu-satunya partai politik yang berasal dari rahim NU."Kalau ingin kehidupan menjadi lebih baik, mari pilih PKB," katanya. Dia minta warga NU tidak jadi "Bang Thoyib", mereka yang melupakan rumah asal dan asal-usulnya.
Buat seorang ulama, apalagi yang duduk di kursi lembaga seperti MUI, dukungan terang-terangan seperti itu jelas menciderai kredibilitas. Tidakkah semestinya ulama berada di atas semua golongan – jadi pengayom dan merangkul semua pihak? Ya, tentu demikian seharusnya. Ulama mestinya tidak terperangkap kepentingan partai. Partai beredar di skup sempit, pendek dan penuh konflik. Tak heran jika ulama, yang semestinya mengajak Muslimin menjauh dari pusaran konflik, justru ditakdirkan terbabit meramaikannya.
Selain sarat konflik kepentingan dan guncangan, belantara politik juga wilayah yang profan dan relatif. Membawa agama ke situ sama saja menerjunkan pemberian Ilahi ke dasar sumur yang dalam. Dan ulama yang melakukannya patut lah dianggap bertanggungjawab atas keterpurukan agama dalam pandangan awam. Pilihan lainnya bukannya tidak ada. Jelas: agamawan harus melepas jubahnya sebelum masuk gelanggang politik. Toh publik sukar menerima sosok yang mau dapat kehormatan sebagai ulama sekaligus juga tergiur nikmatnya kursi kekuasaan.
Al-Qur’an pernah mengisahkan upaya Nabi Musa menghindar jebakan Fir’aun. “Maka bagaimanakah keadaan umat-umat terdahulu?” Musa menjawab, “Pengetahuan tentang hal itu ada di sisi Tuhanku, di dalam sebuah kitab, Tuhan kami tidak akan salah dan tidak (pula) lupa.” (QS 20: 51-52).
Bila Musa menjawab nenek moyang umat Firaun nasibnya di neraka, maka Fir’aun mudah menghasut masyarakat untuk membenci Musa. Karena itu, Musa tidak memberikan jawaban yang tegas dan langsung. Dia mengembalikan pengetahuan soal itu kepada Allah -- yang tidak mungkin salah.
Nah, kembali ke soal awal. Muslimin umumnya tahu hadis Nabi Muhammad bahwa ulama adalah pewaris para nabi, sehingga patutlah bagi mereka untuk mengikuti jejak para nabi. Nah, bukannya meneladani sikap Nabi Musa, agamawan sekelas Ma’ruf malah terseret arus, bahkan memperolok warga NU yang tidak ikut dalam PKB—yang angkanya bisa lebih dari setengah populasi.
Tapi apa mau dikata. Ambisi dan hasrat politik terbukti lebih kuasa ketimbang ajaran agama dan akal sehat.
* * *
Meski punya cara yang berbeda, tapi sikap Bachtiar Nasir—ulama muda yang mendirikan Majlis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI)—bertujuan yang sama. Tokoh yang memiliki banyak jabatan dan padat kegiatan ini juga menampakkan permusuhan pada jutaan elemen masyarakat di negeri ini. Dalam salah satu pesannya dia menyatakan:
"Jika Anda yang mendukung kebaikan tidak mau ikut pemilu karena kecewa dengan pemerintah dan anggota DPR atau Parpol Islam, maka itu hak anda. Tapi ingat, jika Anda dan jutaan Muslim yang lain tidak ikut pemilu, maka jutaan orang fasik, sekuler, liberal, atheis, sosialis komunis, syiah atau orang-orang jahat lainnya, akan ikut pemilu untuk berkuasa dan menguasai negeri ini. Niatlah berbuat baik meskipun hasil belum tentu sebaik yang engkau inginkan. Pilih Golput berarti Anda memberikan pemerintahan negeri ini pada kaum Yahudi Zionis dengan Sepilis-nya (sekulerisme, pluralisme, liberalisme) bahkan syiah. Dan ummat Islam akan dibantai seperti Iraq dan negeri muslim lain yg sekarang sedang dibantai. Pilih golput berarti sudah siap JIHAD!! Memilih dalam pemilu adalah pilihan dengan pertanggung jawaban atas yang dipilih, begitu juga dengan yang golput juga merupakan sebuah pilihan, dan ada konsekuensi atas pilihan tersebut.”
Pesan-pesan kebencian seperti itu jelas tidak datang dari seorang ulama yang mewarisi watak, sikap dan perilaku Nabi Suci ‘yang diutus tiada lain kecuali sebagai rahmat’. Bahasa yang terkandung dalam pesan-pesan itu, atau yang senada dengannya, sebenarnya menunjukkan dengan tegas watak dan kepribadian pembawa pesannya. Seolah-olah orang di luar kelompoknya itu semuanya dicap jahat. Seolah-olah dunia ini harus diisi dengan pertengkaran terus-menerus.
Tidakkah agaman pop sekelas Bachtiar menyadari bahwa kita semua ini satu bangsa yang tinggal di satu negeri yang sama? Tidakkah dia bisa sedikit peka saat berbicara tentang sekian banyak orang di luar kelompoknya? Bukankah umat Islam yang sering dia bawa-bawa itu sesungguhnya bukan satu blok yang tunggal dan bangunan yang monolit?
Fantasi dan ilusi mungkin telah mempermainkan kesadaran Bachtiar. Mungkin kesibukan pula melemahkan daya ingatnya. Tapi, fakta demi fakta terus membetot saraf-saraf kita, menampar-nampar ingatan bahwa umat ini memang tidak tunggal manunggal di bawah satu pemimpin yang adil bernama Bahtiar. Karena itulah ada PKS yang, sama ironisnya, merasa paling mewakili umat vis-Ã -vis PKB dan PPP. Bertiga partai itu berebut ceruk yang sama dengan kepercayaan diri yang sama. Umat ini tidak punya satu pilihan tunggal menghadapi pemilu tahun 2014 – dan setengah lusin pemilu sebelumnya maupun setelahnya.
Entah mengapa, mereka yang mendaulat dirinya sebagai agamawan dan tokoh panutan Muslimin seperti selalu saja terjaring pukat kegilaan tingkat dewa. Mereka seperti tak pernah puas mengejar bayang-bayang dan menjaring matahari di tengah malam.
Islam Times- Pesan-pesan kebencian seperti itu jelas tidak datang dari seorang ulama yang mewarisi watak, sikap dan perilaku Nabi Suci ‘yang diutus tiada lain kecuali sebagai rahmat’. Bahasa yang terkandung dalam pesan-pesan itu, atau yang senada dengannya, sebenarnya menunjukkan dengan tegas watak dan kepribadian pembawa pesannya.

TIAP JELANG PEMILU, Muslimin kerap dihebohkan dengan segala rupa argumen, analisis, himbauan, ancaman dan doktrin yang digoreng untuk kepentingan-kepentingan politik jangka pendek. Juru masaknya bisa dari mana saja dan siapa saja, termasuk, ironisnya, kalangan ulama. Jika mau jujur, justru kegilaan tingkat dewa kerap terjadi di kalangan yang paling diharapkan kewarasannya itu: ulama.
Salah satu tokoh yang getol menggairahkan suhu politik, dan seperti tak ingin ketinggalan kereta kencana kekuasaan, tak lain tak bukan adalah Ketua Majlis Ulama Indonesia, Ma’ruf Amin. Doktor honoris causa ini ikut meramaikan pesta demokrasi dengan sejumlah gimik di media massa, termasuk iklan teve mendukung teman seperjuangannya, Prof. Mahfud MD.
Kantor berita Antara melaporkan juga Ma'ruf terang-terangan mengajak warga Nahdlatul Ulama memilih Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). "Warga NU di partai lain namanya numpang, maka sebaiknya naik kendaraan sendiri yakni PKB," kata Ma’ruf yang juga Ketua Dewan Syuro PKB awal April silam.
Ma’ruf juga menyimpan sinisisme. Dia bilang PKB satu-satunya partai politik yang berasal dari rahim NU."Kalau ingin kehidupan menjadi lebih baik, mari pilih PKB," katanya. Dia minta warga NU tidak jadi "Bang Thoyib", mereka yang melupakan rumah asal dan asal-usulnya.
Buat seorang ulama, apalagi yang duduk di kursi lembaga seperti MUI, dukungan terang-terangan seperti itu jelas menciderai kredibilitas. Tidakkah semestinya ulama berada di atas semua golongan – jadi pengayom dan merangkul semua pihak? Ya, tentu demikian seharusnya. Ulama mestinya tidak terperangkap kepentingan partai. Partai beredar di skup sempit, pendek dan penuh konflik. Tak heran jika ulama, yang semestinya mengajak Muslimin menjauh dari pusaran konflik, justru ditakdirkan terbabit meramaikannya.
Selain sarat konflik kepentingan dan guncangan, belantara politik juga wilayah yang profan dan relatif. Membawa agama ke situ sama saja menerjunkan pemberian Ilahi ke dasar sumur yang dalam. Dan ulama yang melakukannya patut lah dianggap bertanggungjawab atas keterpurukan agama dalam pandangan awam. Pilihan lainnya bukannya tidak ada. Jelas: agamawan harus melepas jubahnya sebelum masuk gelanggang politik. Toh publik sukar menerima sosok yang mau dapat kehormatan sebagai ulama sekaligus juga tergiur nikmatnya kursi kekuasaan.
Al-Qur’an pernah mengisahkan upaya Nabi Musa menghindar jebakan Fir’aun. “Maka bagaimanakah keadaan umat-umat terdahulu?” Musa menjawab, “Pengetahuan tentang hal itu ada di sisi Tuhanku, di dalam sebuah kitab, Tuhan kami tidak akan salah dan tidak (pula) lupa.” (QS 20: 51-52).
Bila Musa menjawab nenek moyang umat Firaun nasibnya di neraka, maka Fir’aun mudah menghasut masyarakat untuk membenci Musa. Karena itu, Musa tidak memberikan jawaban yang tegas dan langsung. Dia mengembalikan pengetahuan soal itu kepada Allah -- yang tidak mungkin salah.
Nah, kembali ke soal awal. Muslimin umumnya tahu hadis Nabi Muhammad bahwa ulama adalah pewaris para nabi, sehingga patutlah bagi mereka untuk mengikuti jejak para nabi. Nah, bukannya meneladani sikap Nabi Musa, agamawan sekelas Ma’ruf malah terseret arus, bahkan memperolok warga NU yang tidak ikut dalam PKB—yang angkanya bisa lebih dari setengah populasi.
Tapi apa mau dikata. Ambisi dan hasrat politik terbukti lebih kuasa ketimbang ajaran agama dan akal sehat.
* * *
Meski punya cara yang berbeda, tapi sikap Bachtiar Nasir—ulama muda yang mendirikan Majlis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI)—bertujuan yang sama. Tokoh yang memiliki banyak jabatan dan padat kegiatan ini juga menampakkan permusuhan pada jutaan elemen masyarakat di negeri ini. Dalam salah satu pesannya dia menyatakan:
"Jika Anda yang mendukung kebaikan tidak mau ikut pemilu karena kecewa dengan pemerintah dan anggota DPR atau Parpol Islam, maka itu hak anda. Tapi ingat, jika Anda dan jutaan Muslim yang lain tidak ikut pemilu, maka jutaan orang fasik, sekuler, liberal, atheis, sosialis komunis, syiah atau orang-orang jahat lainnya, akan ikut pemilu untuk berkuasa dan menguasai negeri ini. Niatlah berbuat baik meskipun hasil belum tentu sebaik yang engkau inginkan. Pilih Golput berarti Anda memberikan pemerintahan negeri ini pada kaum Yahudi Zionis dengan Sepilis-nya (sekulerisme, pluralisme, liberalisme) bahkan syiah. Dan ummat Islam akan dibantai seperti Iraq dan negeri muslim lain yg sekarang sedang dibantai. Pilih golput berarti sudah siap JIHAD!! Memilih dalam pemilu adalah pilihan dengan pertanggung jawaban atas yang dipilih, begitu juga dengan yang golput juga merupakan sebuah pilihan, dan ada konsekuensi atas pilihan tersebut.”
Pesan-pesan kebencian seperti itu jelas tidak datang dari seorang ulama yang mewarisi watak, sikap dan perilaku Nabi Suci ‘yang diutus tiada lain kecuali sebagai rahmat’. Bahasa yang terkandung dalam pesan-pesan itu, atau yang senada dengannya, sebenarnya menunjukkan dengan tegas watak dan kepribadian pembawa pesannya. Seolah-olah orang di luar kelompoknya itu semuanya dicap jahat. Seolah-olah dunia ini harus diisi dengan pertengkaran terus-menerus.
Tidakkah agaman pop sekelas Bachtiar menyadari bahwa kita semua ini satu bangsa yang tinggal di satu negeri yang sama? Tidakkah dia bisa sedikit peka saat berbicara tentang sekian banyak orang di luar kelompoknya? Bukankah umat Islam yang sering dia bawa-bawa itu sesungguhnya bukan satu blok yang tunggal dan bangunan yang monolit?
Fantasi dan ilusi mungkin telah mempermainkan kesadaran Bachtiar. Mungkin kesibukan pula melemahkan daya ingatnya. Tapi, fakta demi fakta terus membetot saraf-saraf kita, menampar-nampar ingatan bahwa umat ini memang tidak tunggal manunggal di bawah satu pemimpin yang adil bernama Bahtiar. Karena itulah ada PKS yang, sama ironisnya, merasa paling mewakili umat vis-Ã -vis PKB dan PPP. Bertiga partai itu berebut ceruk yang sama dengan kepercayaan diri yang sama. Umat ini tidak punya satu pilihan tunggal menghadapi pemilu tahun 2014 – dan setengah lusin pemilu sebelumnya maupun setelahnya.
Entah mengapa, mereka yang mendaulat dirinya sebagai agamawan dan tokoh panutan Muslimin seperti selalu saja terjaring pukat kegilaan tingkat dewa. Mereka seperti tak pernah puas mengejar bayang-bayang dan menjaring matahari di tengah malam.
Post a Comment