Perang Suriah
Analis: "Turki, Biang Kerok Destabilisasi Kawasan"

urki menjadi bayangan yang berbahaya di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Erdogan. Ini terutama berkaitan dengan intrik yang dimainkan Turki di Suriah dan bagaimana Erdogan berpihak pada Ikhwanul Muslimin di sepanjang kawasan yang luas.
Demikian ungkap dua jurnalis independen, Nuray Lydia Oglu dan Lee Jay Walker. "Tentu, Erdogan secara alamiah bermain mata dengan sentimen Islam dan nasionalis, dalam upaya memanipulasi situasi baik secara internal maupun eksternal," lanjut keduanya.
Karena itu, tegas Oglu dan Walker, kekuatan paling mendestabilisasi seluruh kawasan Levant, Kaukasus, dan Timur Tengah adalah Turki yang didasarkan pada intrik pemerintahan Erdogan.
Masalah yang terkait dengan genosida Armenia, Assyria dan Yunani pada 1915 bersama dengan apa yang mengikuti hingga pertengahan 1920-an, tidak unik bagi Erdogan karena sikap ini terkandung.dalam struktur politik Turki. "Namun, pemandangan bahwa kaum Islamis (baca: Wahhabi takfiri) menyerang kaum Armenia Kristen pada 2014 dengan memanfaatkan wilayah dan kemauan baik pemerintah Erdogan sangat menyakitkan," tegas Oglu dan Walker.
Selain itu, Erdogan juga berkata-kata kasar terhadap warga Armenia di masa lalu dan jelas-jelas masalah yang terkait dengan Nagorno-Karabakh tidak didasarkan pada kejujuran Turki sebagai perantara. Sebaliknya, kata keduanya, Erdogan lebih cenderung pada Azerbaijan, dan itu pun masih harus dilihat, apakah Turki akan diam-diam menaikkan taruhan di wilayah ini di masa depan berdasarkan "mimpi Kekaisaran Ottoman".
Memang, keridakmatangan Erdogan tidak mengenal batas karena beberapa tahun lalu, ia mengancam akan mendeportasi lebih dari 100 ribu etnis Armenia. "Tentu saja, ia sedang bermain-main dengan bahasa. Namun, ancaman terselubung darinya memiliki makna yang jauh lebih mendalam, mengingat realitas sejarah seputar pembersihan etnis Armenia Kristen dalam sejarah," ujar Oglu dan Walker.
Erdogan menyatakan bahwa sekitar 170 ribu etnis Armenia tinggal di Turki modern, dengan hanya 70 ribu di antaranya yang memiliki kewarganegaraan Turki. Karena itu, Erdogan mengatakan, "Kami tutup mata terhadap sisa 100 ribu... Besok, saya mungkin mengatakan pada yang 100 ribu itu untuk kembali ke negaranya, jika memang diperlukan."
Sayangnya, pada 2014 komunitas Armenia sekali lagi lolos dari intrik-intrik Turki, dan negara-negara lain seperti Qatar. "Tentu saja, AS, Perancis, Arab Saudi, dan Inggris tidak dapat dikecualikan," kata keduanya.
Setelah semua itu, negara-negara tersebut memainkan bagian perannya--dan terus melakukannya, pada berbagai tingkat, dalam mendestabilisasi Suriah. "Namun, terkait dengan Turki yang berada di balik pembersihan terbaru etnis Armenia yang dilakukan jihadis takfiri pada 2014, menjadi pengingat lain dari kebangkrutan nyata Erdogan," terang Oglu dan Walker.
The Armenian National Committee-International mengeluarkan pernyataan yang mengatakan, "Selama berbulan-bulan, kami telah memperingatkan masyarakat internasional dari ancaman yang ditimbulkan oleh para pemberontak asing ekstremis terhadap penduduk minoritas Kristen di Suriah. Serangan-serangan setan dan ujug-ujug terhadap kota dan desa-desa Kessab yang dihuni warga Armenia menjadi contoh terbaru dari kekerasan ini, yang secara aktif didorong oleh negara tetangga, Turki. Kami menyerukan kepada semua negara yang berpengaruh dalam konflik Suriah untuk menggunakan segala cara yang tersedia guna menghentikan serangan-serangan terhadap penduduk sipil damai Kessab, untuk memungkinkan mereka pulang ke rumah dengan aman dan [jaminan] keamanan. Dalam seratus tahun terakhir, ini sudah ketiga kalinya bahwa warga Armenia dipaksa meninggalkan Kessab dan dalam ketiga kasus itu, Turki menjadi agresor atau berpihak pada agresor [penekanan ditambahkan]."
Di Suriah mosaik yang kaya dan modernisasi negara bangsa, yang berlangsung selama empat dekade terakhir, terus dirusak oleh penguasa [monarki] Teluk dan NATO. "Ini berlaku bagi keterlibatan Qatar, Turki, dan Arab Saudi langsung dan terbuka--serta kebijakan terselubung yang dijalankan AS, Perancis, dan Inggris," ungkap Oglu dan Walker.
Yordania dan elemen-elemen dalam Lebanon juga telah bergabung bersama dengan intrik-intrik yang lebih besar di Libya. Kendati.menghadapi semua itu, pemerintah Presiden Bashar al-Assad tetap teguh berjuang untuk bertahan hidup dan baru-baru ini, tanda-tanda lebih positif menunjukkan pergeseran keseimbangan yang cenderung mendukung pemerintah Suriah.
Kelompok Alawi, Kristen, serta Muslim Syiah dan Muslim Sunni di Suriah mendukung negara bangsa dalam melawan sektarianisme, terorisme, dan hasutan."Semuanya tetap bertekad untuk membendung (dan menghalau) para teroris takfiri teroris di pantai (Latakia)," tutur keduanya.
Realitas sederhananya, warga Kristen Armenia di Suriah takut dikuasai para teroris takfiri binaan [monarki] Teluk yang didukung NATO--bersama berbagai faksi teroris lainnya, termasuk apa yang disebut dengan Tentara Suriah Bebas (FSA). "Tidaklah mengherankan jika orang-orang Kristen Armenia di Suriah melarikan diri dari daerah yang dikuasai [para teroris takfiri sektarian binaan monarki] Teluk dan didukung NATO ke daerah-daerah yang dikontrol pemerintah Suriah," ujar Oglu dan Walker.
Kini Turki menjadi bayangan berbahaya bagi wilayah geografis yang begitu luas dan sangat penting. "Di Suriah, kenyataan ini bermakna bahwa para teroris takfiri, berbagai kekuatan sektarian, dan seluruh kelompok teroris lainnya, memiliki pemerintahan sendiri di sepanjang daerah perbatasan antara Turki dan Suriah berdasarkan intrik Erdogan," lanjut keduanya.
Demikian pula, pemerintah Erdogan secara terbuka mendukung kelompok Ikhwanul Muslimin di Mesir sehingga menciptakan ketegangan dengan Arab Saudi. "Pada saat yang sama, pendudukan dan penyelesaian ilegal terhadap Siprus Utara berjalan seiring dengan de-Kristenisasi di bagian Siprus itu," ujar keduanya.
"Sementara itu, hubungan dengan Irak cenderung negatif karena Turki mengabaikan kedaulatan bangsa ini dalam kaitannya dengan "persoalan Kurdi"--dan penandatanganan kontrak energi di luar jangkauan kekuatan pusat."
Di masa lalu Federasi Rusia serempak menegaskan bahwa jihadis takfiri Kaukasus, terutama teroris Chechnya, memanfaatkan Turki. "Hari ini sama jelasnya bahwa para jihadis di seluruh wilayah Kaukasus dapat memasuki Turki [anggota] NATO dan mendapatkan senjata disebabkan intrik terang-terangan Erdogan terhadap Suriah," papar Oglu dan Walker.
Dalam jangka panjang, hal ini jelas akan merugikan Federasi Rusia. "Karena para jihadis takfiri asal Dagestan, Chechnya, dan bagian lain dari negara itu, akan pulang ke rumah dalam upaya untuk menciptakan kekacauan," tegas keduanya.
Karena itu, Turki telah menjadi biang kerok kebijakan destabilisasi, yang juga mengadopsi sikap anti-Armenia. "Dengan demikiam, pembersihan terbaru warga Kristen Armenia di Kessab dan penghancuran gereja-gereja Kristen Armenia di Suriah menyoroti kebangkrutan nyata dan ketidakmatangan Erdogan," ujar Oglu dan Walker.
Iniah saatnya untuk memerintahkan Erdogan dan Turki membuka lembaran sebenarnya ihwal warga Kristen Armenia. Pada saat yang sama, campur tangan asing di Suriah harus dihentikan karena sudah terlalu banyak komunitas yang berbeda di sana berada di bawah ancaman kekuatan takfiri yang brutal. "Jika pemerintah Suriah sampai jatuh," Oglu dan Walker mengingatkan, "niscaya tradisi Islam dan Kristen akan terancam pasukan takfiri Wahhabi, yang berusaha memperbudak segalanya dan memutar jam kembali ke 'tahun nol'."

urki menjadi bayangan yang berbahaya di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Erdogan. Ini terutama berkaitan dengan intrik yang dimainkan Turki di Suriah dan bagaimana Erdogan berpihak pada Ikhwanul Muslimin di sepanjang kawasan yang luas.
Demikian ungkap dua jurnalis independen, Nuray Lydia Oglu dan Lee Jay Walker. "Tentu, Erdogan secara alamiah bermain mata dengan sentimen Islam dan nasionalis, dalam upaya memanipulasi situasi baik secara internal maupun eksternal," lanjut keduanya.
Karena itu, tegas Oglu dan Walker, kekuatan paling mendestabilisasi seluruh kawasan Levant, Kaukasus, dan Timur Tengah adalah Turki yang didasarkan pada intrik pemerintahan Erdogan.
Masalah yang terkait dengan genosida Armenia, Assyria dan Yunani pada 1915 bersama dengan apa yang mengikuti hingga pertengahan 1920-an, tidak unik bagi Erdogan karena sikap ini terkandung.dalam struktur politik Turki. "Namun, pemandangan bahwa kaum Islamis (baca: Wahhabi takfiri) menyerang kaum Armenia Kristen pada 2014 dengan memanfaatkan wilayah dan kemauan baik pemerintah Erdogan sangat menyakitkan," tegas Oglu dan Walker.
Selain itu, Erdogan juga berkata-kata kasar terhadap warga Armenia di masa lalu dan jelas-jelas masalah yang terkait dengan Nagorno-Karabakh tidak didasarkan pada kejujuran Turki sebagai perantara. Sebaliknya, kata keduanya, Erdogan lebih cenderung pada Azerbaijan, dan itu pun masih harus dilihat, apakah Turki akan diam-diam menaikkan taruhan di wilayah ini di masa depan berdasarkan "mimpi Kekaisaran Ottoman".
Memang, keridakmatangan Erdogan tidak mengenal batas karena beberapa tahun lalu, ia mengancam akan mendeportasi lebih dari 100 ribu etnis Armenia. "Tentu saja, ia sedang bermain-main dengan bahasa. Namun, ancaman terselubung darinya memiliki makna yang jauh lebih mendalam, mengingat realitas sejarah seputar pembersihan etnis Armenia Kristen dalam sejarah," ujar Oglu dan Walker.
Erdogan menyatakan bahwa sekitar 170 ribu etnis Armenia tinggal di Turki modern, dengan hanya 70 ribu di antaranya yang memiliki kewarganegaraan Turki. Karena itu, Erdogan mengatakan, "Kami tutup mata terhadap sisa 100 ribu... Besok, saya mungkin mengatakan pada yang 100 ribu itu untuk kembali ke negaranya, jika memang diperlukan."
Sayangnya, pada 2014 komunitas Armenia sekali lagi lolos dari intrik-intrik Turki, dan negara-negara lain seperti Qatar. "Tentu saja, AS, Perancis, Arab Saudi, dan Inggris tidak dapat dikecualikan," kata keduanya.
Setelah semua itu, negara-negara tersebut memainkan bagian perannya--dan terus melakukannya, pada berbagai tingkat, dalam mendestabilisasi Suriah. "Namun, terkait dengan Turki yang berada di balik pembersihan terbaru etnis Armenia yang dilakukan jihadis takfiri pada 2014, menjadi pengingat lain dari kebangkrutan nyata Erdogan," terang Oglu dan Walker.
The Armenian National Committee-International mengeluarkan pernyataan yang mengatakan, "Selama berbulan-bulan, kami telah memperingatkan masyarakat internasional dari ancaman yang ditimbulkan oleh para pemberontak asing ekstremis terhadap penduduk minoritas Kristen di Suriah. Serangan-serangan setan dan ujug-ujug terhadap kota dan desa-desa Kessab yang dihuni warga Armenia menjadi contoh terbaru dari kekerasan ini, yang secara aktif didorong oleh negara tetangga, Turki. Kami menyerukan kepada semua negara yang berpengaruh dalam konflik Suriah untuk menggunakan segala cara yang tersedia guna menghentikan serangan-serangan terhadap penduduk sipil damai Kessab, untuk memungkinkan mereka pulang ke rumah dengan aman dan [jaminan] keamanan. Dalam seratus tahun terakhir, ini sudah ketiga kalinya bahwa warga Armenia dipaksa meninggalkan Kessab dan dalam ketiga kasus itu, Turki menjadi agresor atau berpihak pada agresor [penekanan ditambahkan]."
Di Suriah mosaik yang kaya dan modernisasi negara bangsa, yang berlangsung selama empat dekade terakhir, terus dirusak oleh penguasa [monarki] Teluk dan NATO. "Ini berlaku bagi keterlibatan Qatar, Turki, dan Arab Saudi langsung dan terbuka--serta kebijakan terselubung yang dijalankan AS, Perancis, dan Inggris," ungkap Oglu dan Walker.
Yordania dan elemen-elemen dalam Lebanon juga telah bergabung bersama dengan intrik-intrik yang lebih besar di Libya. Kendati.menghadapi semua itu, pemerintah Presiden Bashar al-Assad tetap teguh berjuang untuk bertahan hidup dan baru-baru ini, tanda-tanda lebih positif menunjukkan pergeseran keseimbangan yang cenderung mendukung pemerintah Suriah.
Kelompok Alawi, Kristen, serta Muslim Syiah dan Muslim Sunni di Suriah mendukung negara bangsa dalam melawan sektarianisme, terorisme, dan hasutan."Semuanya tetap bertekad untuk membendung (dan menghalau) para teroris takfiri teroris di pantai (Latakia)," tutur keduanya.
Realitas sederhananya, warga Kristen Armenia di Suriah takut dikuasai para teroris takfiri binaan [monarki] Teluk yang didukung NATO--bersama berbagai faksi teroris lainnya, termasuk apa yang disebut dengan Tentara Suriah Bebas (FSA). "Tidaklah mengherankan jika orang-orang Kristen Armenia di Suriah melarikan diri dari daerah yang dikuasai [para teroris takfiri sektarian binaan monarki] Teluk dan didukung NATO ke daerah-daerah yang dikontrol pemerintah Suriah," ujar Oglu dan Walker.
Kini Turki menjadi bayangan berbahaya bagi wilayah geografis yang begitu luas dan sangat penting. "Di Suriah, kenyataan ini bermakna bahwa para teroris takfiri, berbagai kekuatan sektarian, dan seluruh kelompok teroris lainnya, memiliki pemerintahan sendiri di sepanjang daerah perbatasan antara Turki dan Suriah berdasarkan intrik Erdogan," lanjut keduanya.
Demikian pula, pemerintah Erdogan secara terbuka mendukung kelompok Ikhwanul Muslimin di Mesir sehingga menciptakan ketegangan dengan Arab Saudi. "Pada saat yang sama, pendudukan dan penyelesaian ilegal terhadap Siprus Utara berjalan seiring dengan de-Kristenisasi di bagian Siprus itu," ujar keduanya.
"Sementara itu, hubungan dengan Irak cenderung negatif karena Turki mengabaikan kedaulatan bangsa ini dalam kaitannya dengan "persoalan Kurdi"--dan penandatanganan kontrak energi di luar jangkauan kekuatan pusat."
Di masa lalu Federasi Rusia serempak menegaskan bahwa jihadis takfiri Kaukasus, terutama teroris Chechnya, memanfaatkan Turki. "Hari ini sama jelasnya bahwa para jihadis di seluruh wilayah Kaukasus dapat memasuki Turki [anggota] NATO dan mendapatkan senjata disebabkan intrik terang-terangan Erdogan terhadap Suriah," papar Oglu dan Walker.
Dalam jangka panjang, hal ini jelas akan merugikan Federasi Rusia. "Karena para jihadis takfiri asal Dagestan, Chechnya, dan bagian lain dari negara itu, akan pulang ke rumah dalam upaya untuk menciptakan kekacauan," tegas keduanya.
Karena itu, Turki telah menjadi biang kerok kebijakan destabilisasi, yang juga mengadopsi sikap anti-Armenia. "Dengan demikiam, pembersihan terbaru warga Kristen Armenia di Kessab dan penghancuran gereja-gereja Kristen Armenia di Suriah menyoroti kebangkrutan nyata dan ketidakmatangan Erdogan," ujar Oglu dan Walker.
Iniah saatnya untuk memerintahkan Erdogan dan Turki membuka lembaran sebenarnya ihwal warga Kristen Armenia. Pada saat yang sama, campur tangan asing di Suriah harus dihentikan karena sudah terlalu banyak komunitas yang berbeda di sana berada di bawah ancaman kekuatan takfiri yang brutal. "Jika pemerintah Suriah sampai jatuh," Oglu dan Walker mengingatkan, "niscaya tradisi Islam dan Kristen akan terancam pasukan takfiri Wahhabi, yang berusaha memperbudak segalanya dan memutar jam kembali ke 'tahun nol'."
Post a Comment