Header Ads

test

Cengengkah kami? Tak bolehkah menangis untuk itu? Mengapa sulit sekali mengalirkan airmata?

Cengengkah kami? Tak bolehkah menangis untuk itu? Mengapa sulit sekali mengalirkan airmata?

Mari simak rangkaian kalimat wasiat berikut ini.

Tak (mampu) menangis, alamat kerasnya hati.
Keras hati karena banyaknya dosa.
Banyak dosa karena banyaknya angan.
Banyak angan karena lupa mati.
Lupa mati karena cinta dunia.
Cinta dunia adalah awal semua kesalahan.

Kalimat-kalimat di atas diambil dari kalimat singkat yang dikumpulkan dari berbagai tempat…semua dinisbatkan pada sang penerima wasiat, hamba Allah teramat taat, Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi pembawa rahmat. Ia mengingatkan manusia akan bahayanya kehilangan kemampuan untuk menangis.

Tangisan adalah pengingat nurani. Ayat suci menegur orang yang tak menangis ketika datang pada mereka peringatan: “Apakah dari pemberitaan ini kalian terheran-heran? Dan kalian menertawakan dan tidak menangis” (QS. Al-Najm [53]:59-60); “…apabila dibacakan ayat-ayat Ar-Rahman kepada mereka, maka mereka tersungkur dalam sujud dan tangisan.” (QS. Maryam [19]:58).

Tangisan juga adalah tanda kasih sayang. Emosi terdalam yang disuarakan batin manusia. Ia juga adalah puncak kearifan. Ketika cinta sejati bukanlah memiliki melainkan melepaskan. Ketika kebahagiaan tertinggi terletak pada penantian, ketika perpisahan mengantarkan pada janji perjumpaan kekasih hati yang dirindukan.

Bagi bayi, tangisan adalah bentuk komunikasi yang disampaikan. Ia mewakili jutaan kata dan makna. Bahkan, tangisan adalah suara fitriah. Naluri awal yang menyertai manusia. Bila bayi lahir dan tak menangis, justru muncul segudang tanya. Bayi yang sehat adalah bayi yang menangis.

Entah sejak kapan, tangisan itu dikekang. Makin dewasa seseorang, makin ia membutuhkan alasan untuk menangis. Air mata tak boleh turun sembarangan. Cengeng, melankolis…dan berbagai kata yang menahan tetes itu turun membasahi pipi. Pernah diadakan sebuah penelitian akan dua gambar yang sama persis: gambar orang yang menangis. Tapi pada gambar kedua, teknik edit gambar menghilangkan tetesan dan butir air itu. Menyisakan wajah polos tanpa tangisan. Apa yang terjadi? Responden sepakat wajah dengan tangisan tampak lebih sedih, dan wajah tanpa tangisan bagai sorot tanpa emosi. Lurus, seperti orang yang merenung, atau kebingungan.

Tangisan karenanya adalah suara nurani. Pengingat batin dari riuh rendah alam luaran. Menangislah, sudah terlalu lama air mata itu menunggu untuk dialirkan. Kata Charles Dickens dalam Great Expectations, “Heaven knows we need never be ashamed of our tears, for they are rain upon the blinding dust of earth, overlying our hard hearts. Saya menerjemahkannya: Jangan malu. Langit pun tahu. Menangislah. Ia hujan untuk debu-debu yang membutakan bumi ini, yang menutupi kerasnya hati ini.

Tangisan juga punya kemampuan menyembuhkan. Sejenis terapi yang disarankan. Frey dan Blysma (2011) melakukan penelitian tentang dampak dan manfaat menangis untuk kesehatan: baik yang disertai emosi maupun yang bukan (seperti ketika mengiris bawang, misalnya). Yang menarik, ketidakmampuan menangis ternyata erat juga dengan gangguan psikologis. Memang ada beberapa penyakit fisik yang membuat mata tidak bisa memproduksi tangisan. Para pasien dengan sindroma Sjogren misalnya memiliki kesulitan untuk mengekspresikan perasaan mereka. Vingerhoets Ad (2013) menulis buku “Why only Human Weeps: Unravelling the Mysteries of Tears.” Baginya, menarik mengapa Tuhan hanya menitipkan tangisan pada manusia, dan tidak pada makhluk lainnya di seluruh semesta. Dengan fakta itu, masihkah kita akan melarang orang lain menangis? That is what makes us us, humans. Justru tangisan satu di antara yang membuat kita apa adanya, manusia yang diistimewakan dari makhluk yang lainnya. Larangan menangis adalah larangan yang mencederai dan menistakan kehormatan penciptaan manusia.

No comments