Ulama yang tidak Ingin Menjadi Marja’
Hauzah ilmiah Syiah dibangun untuk menjelaskan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan Islam di kalangan masyarakat luas. Guna mewujudkan tujuan mulia ini, hauzah mendidik para pelajar tulus dan penuh ikhlas yang dengan tingkah laku mereka menjadi figur panutan bagi seluruh masyarakat.
Imam Ja’far Shadiq as dalam hal ini pernah berpesan kepada murid-murid beliau, “Jadilah dai tidak melalui lisan kalian.” Atau pada kesempatan lain, beliau berpesan, “Jadilah hiasan bagi kami dan janganlah menjadi duri untuk kami.”
Para marja’ taklid Syiah senantiasa berusaha untuk mengamalkan sunah dan ilmu yang telah mereka peroleh. Untuk itu, mereka juga mengajak seluruh lapisan masyarakat supaya mengikuti tuntutan hukum, akhlak, dan ajaran Islam. Salahs atu ajaran etika yang sering kita dengar dari para panji hidayah ini adalah kerendahan hati yang senantiasa mereka miliki. Dengan memperhatikan kriteria ini, seluruh masyarakat terpesona terhadap mereka dan pasti mengikuti langkah-langkah mereka.
Mungkin makalah ini tidak bisa memuat seluruh biografi para ulama dan marja’ taklid Syiah yang pernah ada. Tetapi, salah satu prinsip yang selalu menjadi panutan mereka selama hidup adalah menghormati orang lain. Semangat saling menghormati ini bisa kita saksikan dalam kemauan mereka untuk saling berkunjung hingga ungkapan-ungkapan mulia seperti ustadzuna (guru kami) di ruang-ruang kelas dan kuliah. Sebuah realita yang sangat jarang dijumpai di atmosfir perguruan tinggi di manapun.
Satu lagi yang menjadi kriteria unggul para figur Ilahi ini adalah kesediaan mereka untuk tidak saling memperebutkan posisi marja’iyah. Mereka malah saling mendorong yang lain untuk memegang posisi ini.
Berikut beberapa contoh menarik untuk kebesaran manusia-manusia agung ini:
a. Syaikh Muhammad Hasan Najafi dan Ayatullah Sa’idul Ulama Mazandarani
Ayatullah Syaikh Muhammad Hasan Najafi lebih masyhur dengan julukan Shahibul Jawahir. Ketika aktif di kota Najaf Asyraf, sudah selayaknya ia memegang posisi marja’iyah Syiah. Tetapi ia malah enggan menerima tanggung jawab ini dan menulis surat kepada Sa’idul Ulama Mazandarani yang kala itu berada di kota Karbala. Shahibul Jawahir meminta Sa’idul Ulama yang merupakan teman sekelasnya supaya datang ke Najaf dan menerima posisi agung marja’iyah. Tetapi Syaikh Mazandarani membalas surat tersebut dengan surat yang berbunyi, “Ketika kita masih belajar kepada Syariful Ulama, memang kekuatan pemahaman dan kecerdasan saya melebih kemampuanmu. Tetapi, selama ini kamulah yang senantiasa masih aktif mengajar dan berdiskusi. Sementara itu, saya sudah disibukkan oleh urusan masyarakat. Untuk itu, kamulah yang lebih pantas untuk memegang posisi ini.”
b. Ayatullah Murtadha Anshari dan Sayyidul Ulama Mazandarani
Setelah posisi marja’iyah diserahkan kepada Shahibul Jawahir di Najaf Asyraf, ketika hendak meninggal dunia, ia membentuks ebuah dewan yang dihadiri oleh para ulama teras Najaf. Ia juga meminta supaya Syaikh Anshari juga hadir.
Setelah mencari ke beberapa tempat, Syaikh Murtadha Anshari ditemukan sedang berdiri di pojok area makam suci Amirul Mukminin Ali as sedang berdoa untuk kesembuhan Shahibul Jawahir.
Setelah Syaikh Anshari tiba, Syaikh Hasan Najafi mendudukkannya di sisi dirinya. Ia memegang tangan Syaikh Anshari dan meletakkannya di atas dada seraya berkata, “Sekarang kematian sangat manis bagiku.” Lalu ia berbicara kepada hadirin, “Orang ini adalah marja’ kalian setelah saya meninggal.” Setelah berkata demikian, Shahibul Jawahir berpesan kepada Syaikh Anshari, “Kurangilah perilaku ihtiyath, karena agama Islam ini adalah agama yang mudah.”
Setelah Syaikh Hasan Najafi meninggal dunia, Syaikh Anshari sekalipun diakui lebih alim oleh empat ratus orang mujtahid kala itu enggan menerima posisi marja’iyah. Ia mengirim surat kepada Sayyidul Ulama Mazandarani yang kala itu berada di Iran.
Surat Syaikh Anshari ini berisi, “Ketika kita sedang belajar di Karbala kepada Syariful Ulama, kekuatan pemahamanmu lebih bagus daripada kekuatan pemahaman saya. Kini sudah selayaknya kamu datang ke Najaf dan mengemban posisi ini.”
Tetapi, Sayyidul Ulama menjawa, “Betul. Tetapi, sekarang saya sudah disibukkan dengan urusan masyarakat. Kamulah yang selama ini masih aktif mengajar dan berdiskusi. Kamu lebih pantas menerima posisi itu daripada saya.”
Setelah menerima jawaban Sayyidul Ulama ini, Syaikh Anshari berziarah ke makam Amirul Mukminin Ali as guna memohon bantuan sekuat tenaga.
Salah seorang khadim makam Amirul Mukminin Ali as bercerita, “Seperti biasa, beberapa saat sebelum fajar menyingsing, saya sudah datang ke makam suci untuk menyalakan lampu. Tiba-tiba saya mendengar rintih tangis dari sebelah makam. Saya maju perlahan-lahan. Ternyata Syaikh Anshari sedang mengisak tangis bak seorang ibu kehilangan anak. Dalam bahasa Dezfuli, ia mengadu kepada Imam Ali, ‘Junjunganku! Wahai Abul Hasan! Wahai Amirul Mukminin! Tanggung jawab yang sedang ada di pundakku ini sangat besar dan berat. Saya mohon kepadamu jagalah saya dari setiap ketergelinciran dan dari topan peristiwa menakutkan. Jika tidak, maka saya akan melarikan diri dari tanggung jawab ini.’”
Post a Comment