Mengenal Imam Husain
Siapa Husain as?
Siapakah yang paling antusias diantara keluarga Rasulullah SAW? Siapakah yang hidupnya paling terwarnai oleh kesyahidan? Siapakah diantara mereka yang paling berwibawa untuk membela agama di depan musuh? Dia adalah Husain bin Ali as. Beliau terlibat dalam perdamaian Imam Hasan as. Perdamaian dilakukan bukan hanya oleh Imam Hasan as, melainkan oleh keduanya. Hanya saja, Imam Hasan as ada di depan, sedangkan Imam Husain as di belakangnya.
(Petikan pidato Rahbar di depan masyarakat dari berbagai elemen pada tanggal 11 April 1990)
________________________________________
Pasdaran, Memorial Detik-Detik Revolusi
Bismillahirrahmanirrahim
Berkenaan dengan hari besar ini, saya juga mengucapkan selamat kepada para hadirian yang mulia, orang-orang saleh di antara umat, para pemuda teladan bangsa ini, segenap anggota masyarakat Iran, dan seluruh kaum tertindas di muka bumi. Milad pemuka syuhada, Imam Husain bin Ali as, yang kita jadikan sebagai Hari Garda Revolusi Islam (Sepah-e Pasdaran/IRGC) dan Milad Hazrat Abu Fadl Abbas bin Ali as yang kita jadikan sebagai Hari Cacat Perang adalah salah satu hari besar dan penuh berkah bagi pemerintahan Islam dan masyarakat kita.
Pertama, dua hari kelahiran dua manusia agung ini terutama Imam dan pemuka pemuda penghuni surga, Imam Husain bin Ali as, adalah hari yang keagungannya tak perlu dijelaskan lagi oleh orang seperti saya. Kita bukanlah orang yang memiliki kapabilitas cukup untuk memasuki ranah makrifat manusia-manusia besar ini. Kita mengakui kekurangan dan keterbatasan kita. Semua imam suci kita memiliki keagungan sedemikian besar, terutama Imam Husain as.
Memang, para imam suci lainnya pasti akan melakukan apa yang dilakukan Imam Husain as seandainya mereka mengalami keadaan seperti yang dialami Imam Husain as. Tapi faktanya, Imam Husainlah yang terpilih dalam undian ini, dan Allah SWT menunjuknya untuk memberikan pengorbanan sedemikian agung dan - sejauh apa yang kita ketahui - tidak ada duanya sepanjang sejarah. Imam Hasan as dan para pemuka keluarga Rasulullah SAW lainnya mengatakan;
لاَيَوْمَ كَيَوْمِكَ يَا اَبَاعَبْدِاللَّهِ
"Tiada hari seperti harimu, wahai Abu Abdillah."
Tak ada hari yang menyamai Asyura, dan tak ada pengorbanan sebesar pengorbanan Imam Husain as. Pengorbanan di hari Asyura adalah mahkota untuk Imam Husain as dan para pengikut setianya dan mahkota paling agung diantara sekian kebanggaan dalam Islam dari awal hingga akhir zaman. Tak seorangpun dapat disetarakan dengan mereka.
(Petikan pidato Rahbar pada peringatan Milad Imam Husain as dan Hari Garda Revolusi Islam tanggal 18 Februari 1991 M)
________________________________________
Saudara dan saudari yang mulia, nama Husain bin Ali as adalah nama yang sangat menakjubkan. Di mata umat Islam yang bermakrifat, nama ini memiliki keistimewaan yang menjadi magnet untuk hati mereka. Hanya saja, tak semua Muslim mengalami keadaan ini atau dapat menikmati makrifat kepada Imam Husain as. Dari sisi lain, tak sedikit orang yang walaupun bukan termasuk pengikut Ahlul Bait as tetapi mata mereka dapat berkaca-kaca dan hati mereka luruh menyaksikan keagungan nama Husain as. Allah SWT telah menanamkan daya tarik khusus pada nama Imam Husain as sehingga ketika nama Husain disebutkan, jiwa dan kalbu bangsa Iran dan bangsa-bangsa Muslim Syiah lainnya segera teraliri oleh getaran spiritual. Dan inilah makna daya tarik emosional yang bersemayam dalam wujud suci beliau.
Getaran ini sejak semula sudah dirasakan oleh kaum arif. Dalam rumah Nabi SAW, dalam rumah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, dan dalam lingkungan sekitar manusia-manusia besar, sebagaimana dapat dimengerti oleh setiap orang dari berbagai riwayat dan sejarah, wujud Imam Husain as memiliki keistimewaan yang mengundang rindu dan kecintaan. Ini berlanjut sampai sekarang. Dari segi makrifatpun, diri dan nama agung yang mengisyaratkan kebesaran pribadi pemilik nama ini juga demikian. Dalam kalimat-kalimat Imam Husain as tersemat berbagai makrifat yang teragung. Dalam doa Imam Husain as di hari Arafah, Anda dapat menyaksikan betapa layaknya doa ini disebut sebagai Zabur Ahlul Bait dan betapa doa ini sarat akan keindahan irama cinta dan kerinduan. Karena itu terlihat pula betapa sebagian doa putera beliau, Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as, adalah deskripsi dan elaborasi dari teks doa ayahandanya. Doa Imam Husain as adalah pokok, sedangkan doa Imam as-Sajjad as adalah cabangnya.
Keagungan doa Arafah serta kalimat-kalimat beliau seputar Asyura maupun lainnya mengandung makna dan spirit yang menakjubkan serta membentang sebagai samudera makrifat yang begitu agung, transenden, dan jarang bisa ditemukan dari peninggalan-peninggalan doa Ahlul Bait lainnya. Sedangkan dari aspek historis, nama dan kepribadian Imam Husain as juga merupakan satu episode dan naskah sejarah tersendiri yang tentunya bukan sejarah biasa atau sekedar deskripsi sebuah peristiwa, melainkan merupakan satu eksplanasi sejarah dan pendidikan tentang hakikat sejarah.
(Pidato Rahbar menyambut Hari Pasdaran pada tanggal 26 Desember 1995 M)
________________________________________
Pada diri manusia-manusia besar tentu terdapat tanda-tanda keagungan, dan tak syak lagi salah satu tanda terbesarnya ada dalam diri Abu Abdillah al-Husain as. Pada hakikatnya, bukan hanya manusia-manusia seperti kita yang memang hina dan serba kurang ini yang membutuhkan cahaya mentari Imam Husain as, tetapi bahkan semua makhluk di alam semesta ini -yang sebagian besarnya tidak kita ketahui-, termasuk arwah para wali dan malaikat muqarrabin. Sebagai putera Rasul SAW , putera Ali bin Abi Thalib as dan Fatimah az-Zahra as, Imam Husain as tumbuh dalam sebuah rumah yang menjadi nilai dan faktor tersendiri bagi proses kesempurnaan sosok manusia. Di situ beliau terbina di bawah curahan tarbiyah dan naungan spiritual dan surga ruhani.
Meski demikian, beliau masih belum puas dengan ini. Rasulullah SAW wafat ketika Imam Husain as masih remaja berusia delapan atau sembilan tahun, sedangkan Amirul Mukminin as wafat ketika Imam Husain as sudah menjadi pemuda dewasa berusia sekitar 37 tahun. Masa Amirul Mukminin as yang merupakan masa penuh ujian, jerih payah, dan perjuangan juga telah menjadi faktor yang menunjang kematangan dan kecemerlangan Imam Husain as di bawah didikan ayahandanya.
Untuk orang seperti kita, ini semua sudah lebih dari cukup sebagai bekal untuk berpulang kepada Allah SWT. Tapi Imam Husain as ternyata tak berhenti di situ. Di masa kepemimpinan kakaknya, Imam Hasan bin Ali as, Imam Husain as sebagai pengikut kakaknya terus melanjutkan gerakan agungnya dengan menunaikan segala kewajiban dan ketaatannya yang mutlak kepada sang kakak. Semua ini adalah tangga menuju kesempurnaan yang mesti diperhitungkan dalam setiap detiknya. Beliau lalu dihadapkan pada peristiwa kesyahidan kakandanya. Setelah itu beliau melanjutkan perjalanan hidupnya sampai sepuluh tahun - terdapat selang waktu sekitar sepuluh tahun lebih antara kesyahidan Imam Hasan as dan kesyahidan Imam Husain as-.
Perhatikan apa yang dilakukan Imam Husain as sepanjang sepuluh tahun sebelum tragedi Asyura itu. Betapa satu sisi kehidupan beliau selama itu sarat dengan ibadah, munajat, tawassul, iktikaf di Masjid Nabawi, dan penggemblengan ruhani, sedangkan sisi kehidupan beliau lainnya sarat sekali dengan perjuangan menyebarkan ilmu dan makrifat Islam serta perjuangan melawan penyelewengan. Penyelewengan saat itu menjadi bencana terbesar bagi Islam; bencana mafsadah yang datang bak air bah menerjang dan menenggelamkan pikiran umat Islam. Betapa saat itu semua kota, negeri, dan bangsa-bangsa Muslim mendapat instruksi agar melaknat pribadi terbesar dalam Islam. Orang yang dicurigai berpihak kepada kepemimpinan Ali bin Abi Thalib as dan keturunannya akan diburu dan dibunuh. Di tengah iklim sedemikian buruk ini Imam Husain as berdiri tegak laksana gunung dan mengungkap semua tabir penyimpangan. Kalimat, ucapan, dan pesan-pesan beliau kepada para ulama saat itu yang beberapa diantaranya terabadikan dalam sejarah menunjukkan kegigihan beliau dalam bergerak menuju keagungan.
Beliau menunaikan kewajiban amar makruf nahi munkar dalam bentuknya yang terbaik. Dalam rangka ini beliau antara lain melayangkan surat kepada Mu'awiyah - seingat saya surat ini justru diriwayatkan oleh para sejarawan Sunni, bukan Syi'ah. Kalaupun Syiah meriwayatkannya maka sumbernya berasal dari sejarawan Sunni-. Surat itu ikut mengungkapkan betapa kepergian Imam Husain as dari Madinah setelah berkuasanya Yazid bin Mu'awiyah adalah dalam rangka menunaikan kewajiban amar makruf nahi munkar. Beliau menegaskan;
اُرِيْدُ اَنْ آمُرَ بِالْمَعْرُوْفِ وَانََْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ
"Aku hendak menunaikan amar makruf nahi munkar."
Di situ terlihat bagaimana Imam Husain as menjadi sosok manusia yang bukan hanya giat melakukan penyucian ruhani yang bersifat pribadi, tetapi juga gigih di kancah kebudayaan dimana beliau berjuang melawan penyimpangan, menyebarkan ajaran Ilahi yang sejati, mendidik murid agar menjadi manusia-manusia besar, dan gigih di kancah politik dimana beliau menunaikan amar makruf nahi munkar. Demi menyempurnakan pembangunan dirinya, beliau telah bermujahadah di tiga kancah tersebut.
Saudara dan saudari yang mulia, Imam Husain as adalah teladan dan itu semua adalah riwayat beliau sebelum peristiwa Karbala. Tak ada jeda dalam proses perjuangan beliau untuk menjadi manusia yang progresif dan sempurna. Ini beliau lakukan di saat musuh selalu mengintai jeda sebagai celah untuk melakukan infiltrasi dan ofensif. Beliau memperlihatkan bagaimana serangan kita bertubi-tubi adalah jalan terbaik untuk menghentikan gempuran musuh dan memporak-porandakan barisan mereka. Kemajuan kita terletak pada intensitas gempuran kita terhadap musuh.
Sebagian orang mengira bahwa menggempur musuh artinya tak lain adalah mengangkat senjata atau mengumandangkan teriakan politik. Memang, tindakan ini sangat diperlukan dalam banyak kasus. Tapi, jangan kira bahwa memikirkan isu kebudayaan artinya semata-mata adalah menyampaikan teriakan ke telinga musuh. Ini memang perlu, tapi bukan berarti hanya demikian. Melainkan juga bermakna perjuangan terbesar kita dalam bentuk upaya membina kemanusiaan dalam diri kita sendiri, dalam diri anak anak-anak kita, kerabat dan handai tolan kita serta dalam tubuh umat Islam.
Musuh selalu mengintai keadaan untuk dapat menjebol benteng pertahanan kita. Musuh kita yang secara lahiriah terlihat begitu besar dan dengan wibawanya yang keropos semuanya adalah kaum arogan Barat dengan budaya yang bercorak jahiliyah dan berpola thaghut. Musuh seperti ini sejak dulu sudah ada. Mereka berkeliaran mencari-cari peluang untuk menguasai sumber-sumber perekonomian, kebudayaan, kemanusiaan, dan politik. Tapi sekarang mereka kian dihadapkan pada kendala besar yang berasal dari Islam yang sejati, bukan Islam yang hanya sekedar klaim. Islam yang hanya sekedar klaim bukannya tidak ada. Ada orang-orang yang mengaku Muslim, tapi mereka satu meja makan dengan musuh, berkutat di pusaran musuh, dan mengikuti arah telunjuk musuh. Orang seperti ini sudah jelas tidak dikhawatirkan musuh.
Benteng yang sesungguhnya adalah Islam yang sejati, Qur'ani, dan sejalan dengan firman Ilahi;
وَلَن يَجْعَلَ اللّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً
"Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman." (QS.4.141)
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ
"Tiada ketatapan hukum kecuali hak Allah." (QS.6.57)
Secara lebih fokus lagi, Islam sejati adalah Islam yang sejalan dengan firman Allah SWT;
إِنَّ اللّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ
"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. " (QS.9.111)
Islam Andalah yang membuat raga Anda penuh dengan goresan luka perjuangan. Sekujur tubuh Anda dari kepala hingga kaki terpahat oleh jejak-jejak perang dan jihad di jalan Allah SWT; baik Anda yang berstatus veteran maupun Anda yang berstatus keluarga syuhada, atau Anda yang dulu ikut berperang dan kini -alhamdulillah- pulang dalam keadaan masih hidup dan segar bugar. Anda telah menggelapkan mata musuh sehingga Andalah yang menjadi kendala utama mereka. Musuh selalu mengintai dan tak pernah mengabaikan kendala ini. Kita harus mengecohkan mereka, mengacaukan jebakan dan trik mereka. Upaya ini harus dilakukan, tetapi yang lebih penting dari segalanya adalah membenahi front yang ada dalam diri kita sendiri. Semua ini harus kita lakukan sebagaimana Imam Husain as junjungan kita telah melakukan amar makruf dan terjun ke kancah politik dimana ketika situasi memang urgen beliau pasti menegaskan sikap dan pendirian politiknya terhadap kekuatan arogan. Demikian pula di bidang kebudayaan yaitu, pembenahan diri, mentalitas, pikiran, dan budi pekerti yang merupakan kewajiban bagi setiap orang yang meneladani Imam Husain as. Kita beruntung karena kita semua adalah bangsa yang patuh kepada Imam Husain dan mengagungkannya. Bahkan, tak sedikit non-Muslim yang juga menghormati beliau.
Sekarang kita sampai pada masalah Karbala yang dari sisi lain memang sangat esensial dan juga merupakan pejaran bagi setiap orang yang ingin mencontoh Imam Husain as. Saudara dan saudari yang mulia! Anda tahu tragedi Karbala berlangsung tak lebih dari sekitar setengah hari. Sejumlah orang, kurang lebih 72 orang, gugur syahid. Padahal banyak sekali syuhada di dunia ini. Secara kronologis memang kecil, tapi tragedi ini menjadi peristiwa yang sangat besar dan sedemikian berpengaruh dalam jiwa manusia. Ini tak lain karena kobaran spirit yang terkandung dalam peristiwa ini. Pembunuhan anak kecil cukup sering terjadi di mana-mana. Di Karbala hanya ada satu balita berusia enam bulan yang terbunuh, mungkin di satu peristiwa ada orang yang melakukan pembunuhan massal di satu tempat dan membunuh anak kecil bahkan sampai ratusan orang.
Namun, isu Karbala mengemuka bukan dengan tinjauan superfisial, melainkan dengan tinjauan esensi dan spiritnya. Duduk persoalannya bukan terletak pada adegan dimana Imam Husain as sedang berhadapan dengan sekelompok laskar atau suatu golongan, walaupun jumlahnya ratusan kali lebih besar dari jumlah orang yang ada di kubu beliau. Duduk persoalannya adalah konfrontasi Imam Husain as dengan dunia penyimpangan dan kezaliman yang kebetulan memiliki segalanya termasuk uang, kekuasaan, syair, ahli hadist, dan agamawan. Mengerikan sekali! Siapapun pasti gentar menyaksikan kedahsyatan dunia kezaliman seperti ini. Tapi langkah dan denyut jantung Imam Husain as tak mengenal kata gentar itu. Beliau tak pernah merasa kerdil dan karena itu beliau tidak gentar maju berlaga seorang diri. Ini adalah karena keagungan kebangkitan untuk Allah (qiyam lillah).
Tindakan Imam Husain as di Karbala bisa disetarakan dengan apa yang dilakukan kakeknya, Nabi Besar Muhammad SAW, pada hari pengutusan (bi'tsah). Sebagaimana Rasul SAW pada hari itu tampil seorang diri di depan sebuah dunia, Imam Husain as di Karbala juga tampil seorang diri di depan sebuah dunia. Keduanya sama-sama berdiri tegak dan maju ke depan tanpa sedikitpun rasa takut dan gentar. Gerakan Nabawi dan gerakan Husaini adalah gerakan pada satu poros dan arah yang sama. Dan inilah keagungan makna yang terkandung dalam sabda Baginda Rasul SAW;
حُسَيْنٌ مِنّىِ وَ اَناَ مِنْ حُسَيْن
"Husain adalah bagian dariku dan aku bagian dari Husain."
Di malam Asyura Imam Husain as berkata; "Menjauhlah kalian dari sini dan bawalah anak-anakku. Mereka (musuh) hanya ingin memburuku." Seandainya orang-orang yang dipersilahkan pergi oleh Imam Husain as itu bersedia pergi membiarkan beliau sendirian atau hanya ditemani sepuluh orang, apakah keagungan kebangkitan beliau akan berkurang? Tidak. Keagungan ini tetap akan utuh dan tak akan berkurang sedikitpun. Begitu pula seandainya yang menemani beliau bukan 72 orang, melainkan 72.000 orang. Apapun yang terjadi, keagungan ini tetap akan utuh karena esensinya adalah ketegaran beliau dalam melawan tekanan sebuah dunia yang kejam dan arogan, yaitu tekanan yang pasti menggentarkan manusia biasa maupun manusia di atas rata-rata semisal Abdullah bin Abbas dan para pemuka Quraish lainnya termasuk Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Umar, Abdurrahman bin Abu Bakar dan putera-putera para sahabat besar Nabi lainnya. Mereka semua tertekan secara mental.
Di Madinah ada banyak sahabat Nabi. Mereka bukannya orang yang tak punya martabat. Sebaliknya, seperti terlihat dalam tragedi Harrah, Madinah, yang diwarnai pembunuhan massal pada peristiwa serangan Muslim bin Uqbah terhadap Madinah setahun setelah tragedi Asyura, mereka adalah para pendekar gagah berani yang tak gentar menyongsong perang. Jangan kira mereka adalah orang-orang penakut. Namun, keberanian berlaga di medan pertempuran berbeda dengan keberanian menghadapi sebuah dunia. Keberanian yang terakhir inilah yang dimiliki Imam Husain as dan dalam rangka inilah beliau bergerak. Dan inilah sebab mengapa saya berulangkali menegaskan bahwa gerakan Imam Khomeini ra adalah gerakan Husaini. Gerakan Imam Khomeini ra di zaman kita ini adalah gerakan yang mengakar pada gerakan Husaini. Bisa jadi sebagian orang mengatakan bahwa Imam Husain as kehausan dan gugur di Karbala, sedangkan Imam Khomeini ra justru meraih pemerintahan dan dapat hidup secara lebih terhormat. Tapi mereka perlu tahu bahwa kriterianya bukan ini, melainkan keberanian menghadapi sebuah kekuatan raksasa yang menguasai segalanya. Seperti kita sebutkan tadi, musuh Imam Husain as adalah kekuatan yang memiliki superioritas uang, kekuasaan, pasukan, juru agama, dan orang-orang berdada busung.
Saudara dan saudari sekalian, Andapun juga demikian adanya. Karbala akan terus membentang hingga hari kiamat. Karbala tak terbatas hanya pada luas area sekian ratus meter persegi. Sekarangpun juga merupakan hari Asyura, sebab Republik Islam Iran sedang berhadapan dengan seluruh kekuatan arogan dan despotik dunia. Memang, kita harus akui zaman kita sekarang lebih baik dari zaman Imam Husain as. Di tengah kegelapan era kita sekarang masih terlihat berkas-berkas cahaya. Di sana sini masih ada orang-orang, masyarakat, dan bangsa yang tercerahkan. Namun demikian, hegemoni musuh Islam, musuh revolusi Islam, dan musuh permata kebenaran yang ada di tangan Anda ini telah mewarnai seluruh jagad. Lawanlah hegemoni ini agar budaya kebenaran bisa membumi dan mewarnai seluruh masyarakat dunia, termasuk masyarakat Barat dan masyarakat yang kebaratan-baratan serta sekelompok kecil saudara setanah air Anda sendiri yang termakan oleh klaim-klaim Barat. Musuh gemar menebar klaim. Hanya dalam sekali pertemuan saja dengan mudahnya mereka bangkit dan melontarkan dakwaan terhadap Republik Islam Islam sehingga Iran menjadi persis seperti Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as yang dulu difitnah sebagai orang yang tidak pernah melaksanakan solat!
(Petikan pidato Rahbar pada peringatan Hari Garda Revolusi Islam/ Sepah-e Pasdaran tanggal 14 Desember 1996 M)
________________________________________
Kecemerlangan pribadi Imam Husain as memiliki dua dimensi. Satu dimensinya adalah jihad, syahadah, dan gelora yang telah beliau bentangkan ke dalam lembaran sejarah dan kemudian menjadi sumber energi yang kekal dan dahsyat sebagaimana yang sudah Anda ketahui bersama. Dimensi lainnya adalah kejernihan ruhani dan spiritualitas beliau sebagaimana yang tercermin secara jernih dan mencengangkan terutama dari Doa Arafah. Kita jarang sekali menemukan doa sedahsyat Doa Arafah dalam menyuguhkan ketajaman rintihan, keindahan susunan kata, dan kefanaan di depan Zat Rububiah Yang Maha Suci. Doa Arafah sungguh merupakan doa yang luar biasa.
Doa lain yang serupa dengan Doa Arafah yang juga dicaba di hari Arafah terdapat dalam Sahifah Sajjadiyah yang bersumber dari putera beliau, Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as. Saya pernah mencoba membandingkan doa Arafah dengan doa serupa di Sahifah Sajjadiyah. Hasilnya adalah saya selalu berkesimpulan bahwa doa Imam Sajjad as lebih menyerupai penjelasan untuk Doa Arafah. Doa Arafah adalah naskah utamanya, sedangkan Doa as-Sajjad adalah komentarnya. Yang pertama adalah intinya, sedangkan yang kedua adalah cabangnya. Anda juga dapat menyaksikan dimensi spiritual Imam Husain as dari khutbah beliau di Mina di depan para pemuka umat Islam dan para tabi'in. Saya lupa kapan persisnya khutbah itu beliau kemukakan. Seingat saya khutbah itu terjadi pada tahun terakhir masa hidup beliau. Yang jelas waktunya tercatat dalam kitab-kitab sejarah dan hadits.
Kita kembali ke masalah Asyura dan Karbala. Kita lihat bahwa walaupun Karbala adalah medan laga dan tempat berkobarnya semangat perang, tapi dari detik pertama hingga detik terakhir dimana wajah suci Imam Husain as terhempas ke pasir panas Karbala beliau berucap;
اِلَهِى رِضاً بِقَضَائِكَ وَ تَسْلِيْماً لِأَمْرِكَ
"Ilahi, aku rela atas ketetapan-Mu dan pasrah kepada perintah-Mu."
Beliau selalu membekali diri dengan zikir, munajat, dan tawassul. Ketika meninggalkan kota suci Mekkah beliau berseru;
مَنْ كَانَ فِيْناَ بَاذِلاً مُهَجَتَهُ مَوْطِناً عَلىَ لِقَاءِ اللَّهِ نَفْسَهُ فَلْيَرْحَلْ مَعَنَا
"Barangsiapa ingin bersama kami demi menyerahkan jiwanya untuk berjumpa dengan Allah maka silahkan bergerak bersama kami."
Beliau memulai gerakannya dengan doa, tawassul, janji perjumpaan dengan Allah, dan spirit yang tertuang dalam Doa Arafah dan mengakhirinya di tempat pembantaian dengan ucapan ""Ilahi, aku rela atas ketetapan-Mu dan pasrah kepada perintah-Mu." Ini membuktikan bahwa perjalanan Asyura juga merupakan perjalanan irfani. Hikayat Asyura adalah hikayat perang dan keterbunuhan, sebuah episode semangat dengan gelegar yang luar biasa. Tetapi jika Anda mengurainya secara lebih mendalam, maka akan terlihat betapa Asyura juga memancarkan cahaya irfan, maknawiyah, munajat, dan spirit Doa Arafah. Dengan demikian, ini adalah satu dimensi lain dari kepribadian Imam Husain as yang juga mesti diperhatikan di balik dimensi puncak keagungan jihad dan syahadah. Dan inilah poin yang ingin saya garis bawahi.
Mungkin bisa dipastikan bahwa dimensi spiritual, irfan, tawassul, kefanaan dalam kehendak Sang Tercinta dan Zat Maha Suci inilah yang membuat Asyura menjadi peristiwa sedemikian agung dan kekal. Dengan kata lain, dimensi pertama yaitu jihad dan syahadah adalah hasil dari dimensi kedua yaitu spirit irfani dan maknawi. Banyak orang beriman yang berjihad dan kemudian gugur syahid dengan segala kesempurnaannya. Namun, ada satu bentuk kesyahidan tersendiri yang melampaui spirit keimanan dan memancar dari kerinduan yang membara dalam meniti jalan Allah sehingga tenggelam dan fana dalam Zat dan sifat-sifat Ilahiah. Mujahadah sedemikian rupa jelas menemukan rasa, kenikmatan, dan kepuasan tersendiri dalam diri seseorang.
(Petikan khutbah Rahbar menyambut Hari Garda Revolusi/Pasdaran tanggal 4 Desember 1997 M)
________________________________________
Keutamaan dalam diri Abu Abdillah al-Husain as memiliki berbagai karakter yang masing-masing tentu memerlukan pembahasan dan penjelasan yang cukup panjang. Namun, jika kita hendak menyebutkan sebagian diantaranya, maka salah satunya adalah "keikhlasan". Keikhlasan artinya ialah kepekaan terhadap kewajiban agama dalam bentuk yang steril dari segala kepentingan pribadi maupun kelompok serta bebas dari motif-motif materi. Karakter menonjol lainnya adalah "keyakinan kepada Allah SWT". Jika ditinjau secara fisik, kebangkitan Asyura di Karbala hanyalah kobaran sesaat yang cepat atau lambat akan meredup dan padam. Tinjauan fisik inilah yang dilihat oleh penyair Farazdaq dan orang-orang lainnya yang datang dari Kufah dan menasihati Imam Husain as, tetapi tidak dilihat oleh beliau yang melihat dengan penginderaan Ilahiah. Mereka melihatnya demikian karena secara fisik memang itulah yang terlihat. Namun, keyakinan kepada Allah berkata lain dan memberi kepastian bahwa kalimat yang hak dan benar pada akhirnya akan menang. Yang menjadi prinsip adalah bahwa niat dan tujuanlah yang mesti tercapai. Ketika seseorang sudah ikhlas, maka urusan pribadi baginya adalah masalah yang sangat sepele.
Seorang ahli suluk dan irfan menulis dalam sebuah surat bahwa seandainya segala perilaku dan perjuangan yang telah dilakukan oleh Nabi Besar Muhammad SAW dinisbatkan kepada orang lain, apakah beliau akan kecewa? Apakah beliau akan enggan melakukan semua itu karena nanti nama orang lain yang akan besar? Jelas tidak demikian, sebab yang penting adalah tujuan, bukan nama dan status pribadi. Bagi seorang mukhlis, "ego", "aku", dan "diri sendiri" sama sekali tidak penting. Selain ikhlas, Imam Husain as juga percaya mutlak kepada Allah SWT. Beliau yakin bahwa Allah SWT pasti akan memenangkan tujuan beliau karena Dia telah berfirman;
وَ اِنَّ جُنْدَناَ لَهُمُ الْغَالِبُوْنَ
"Dan sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang."(QS.37.173)
Allah SWT berfirman demikian walaupun banyak mujahidin yang berguguran dalam berjuang di jalan Allah SWT.
Karakteristik ketiga ialah "memahami situasi". Imam Husain as tidak meleset dalam memahami situasi. Sebelum tragedi Karbala pecah, 10 tahun beliau mengemban tanggung jawab imamah. Selama itu di Madinah beliau menjalani berbagai kesibukan lain yang tidak berkaitan dengan masalah Karbala. Namun, begitu tersedia kesempatan untuk menunaikan tugas penting itu, beliau segera mendeteksinya sebagai momentum yang jangan sampai terabaikan. Tiga karakter ini sangatlah determinan untuk segala zaman, termasuk di era revolusi Islam Iran. Seperti Anda ketahui, Imam Khomeini ra sedemikian tinggi derajat yang telah diberikan Allah SWT kepadanya sehingga beliau tetap dijaga, dibesarkan, dan diabadikan oleh-Nya walaupun semua aktor kekuatan besar materi dunia berambisi untuk menyingkirkan, mengecilkan, dan menjadikan beliau sebagai sosok yang akan dilupakan orang. Allah SWT telah menggolongkan beliau dalam kategori firman Ilahi;
وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًّا
"Dan Kami telah mengangkatnya ke derajat yang tinggi." (QS.19.57)
Ini adalah karena tiga faktor tadi : Pertama, keikhlasan yang telah membuatnya tidak mencari sesuatu yang bersifat pribadi. Kedua, keyakinan kepada Allah SWT yang telah membuatnya percaya bahwa tujuan pasti akan tercapai -tentu beliau juga percaya kepada hamba-hamba Allah. Ketiga, pengetahuan terhadap tuntutan situasi sehingga mengerti kapan harus bertindak, kapan harus bicara, kapan harus menyampaikan isyarat, dan kapan harus bergerak.
(Petikan pidato Rahbar pada peringatan Hari Garda Revolusi tanggal 23 November 1998 M)
________________________________________
Perawi yang meriwayatkan peristiwa Asyura dan kemudian tersebar dari kitab ke kitab mengatakan;
فَوَاللَّهِ مَا رَأَيْتُ مَكْثُوْرًا اَرْبَطُ جَأْشًا
"Demi Allah, aku tidak pernah melihat orang seteraniaya dan setegar dia (Husain as)."
Perawi merasa tak pernah melihat atau mendengar orang sedemikian pedih, kehilangan anak, kerabat, sahabat, dan harta bendanya seperti Imam Husain as. Tetapi di saat yang sama, perawi yang sudah banyak terjun dan mengamati peperangan, fenomena sosial dan politik serta berbagai ranah kehidupan lainnya juga mengaku tidak pernah melihat orang sedemikian pedih dan besar bencananya tetapi sedemikian tegar dan teguh hatinya seperti Imam Husain bin Ali as sehingga mencerminkan kebesaran tekad, kehendak, dan tawakkalnya kepada Allah SWT. Ini jelas merupakan anugerah kehormatan dari Allah SWT. Hakikat ini telah dibentangkan Imam Husain as di atas lembaran sejarah agar manusia memahami bahwa penguasa yang korup harus dilawan agar masyarakat terbebas dari pembusukan, kebodohan, belenggu, dan diskriminasi. Semua harus berjuang menciptakan masyarakat sedemikian rupa.
(Petikan pidato Rahbar di depan para peziarah makam Imam Ali Ridha as dan warga kota Masyhad tanggal 25 Maret 2000 M)
________________________________________
Husain bin Ali as adalah manifestasi keagungan yang sesungguhnya serta merupakan simbol yang sempurna dari kebanggaan yang sejati, baik di mata kita sebagai manusia yang terbelenggu oleh lingkaran materi dunia maupun di mata hamba-hamba salih di alam malakut.
(Petikan pesan Rahbar menyambut hari Nouruz yang tiba bersamaan dengan hari-hari Asyura tanggal 20 Maret 2002 Masehi)
________________________________________
Imam Hasan as dan Imam Husain as disebut sebagai "pemuka para pemuda penghuni surga', padahal keduanya bukanlah manusia yang selalu muda, melainkan pemuda yang pada akhirnya juga mengalami masa tua. Ini antara lain berarti bahwa masa muda keduanya harus menjadi contoh bagi para pemuda di segala tempat dan zaman, sebagaimana masa muda Rasulullah SAW dan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as juga demikian.
Siapakah yang paling antusias diantara keluarga Rasulullah SAW? Siapakah yang hidupnya paling terwarnai oleh kesyahidan? Siapakah diantara mereka yang paling berwibawa untuk membela agama di depan musuh? Dia adalah Husain bin Ali as. Beliau terlibat dalam perdamaian Imam Hasan as. Perdamaian dilakukan bukan hanya oleh Imam Hasan as, melainkan oleh keduanya. Hanya saja, Imam Hasan as ada di depan, sedangkan Imam Husain as di belakangnya.
(Petikan pidato Rahbar di depan masyarakat dari berbagai elemen pada tanggal 11 April 1990)
________________________________________
Pasdaran, Memorial Detik-Detik Revolusi
Bismillahirrahmanirrahim
Berkenaan dengan hari besar ini, saya juga mengucapkan selamat kepada para hadirian yang mulia, orang-orang saleh di antara umat, para pemuda teladan bangsa ini, segenap anggota masyarakat Iran, dan seluruh kaum tertindas di muka bumi. Milad pemuka syuhada, Imam Husain bin Ali as, yang kita jadikan sebagai Hari Garda Revolusi Islam (Sepah-e Pasdaran/IRGC) dan Milad Hazrat Abu Fadl Abbas bin Ali as yang kita jadikan sebagai Hari Cacat Perang adalah salah satu hari besar dan penuh berkah bagi pemerintahan Islam dan masyarakat kita.
Pertama, dua hari kelahiran dua manusia agung ini terutama Imam dan pemuka pemuda penghuni surga, Imam Husain bin Ali as, adalah hari yang keagungannya tak perlu dijelaskan lagi oleh orang seperti saya. Kita bukanlah orang yang memiliki kapabilitas cukup untuk memasuki ranah makrifat manusia-manusia besar ini. Kita mengakui kekurangan dan keterbatasan kita. Semua imam suci kita memiliki keagungan sedemikian besar, terutama Imam Husain as.
Memang, para imam suci lainnya pasti akan melakukan apa yang dilakukan Imam Husain as seandainya mereka mengalami keadaan seperti yang dialami Imam Husain as. Tapi faktanya, Imam Husainlah yang terpilih dalam undian ini, dan Allah SWT menunjuknya untuk memberikan pengorbanan sedemikian agung dan - sejauh apa yang kita ketahui - tidak ada duanya sepanjang sejarah. Imam Hasan as dan para pemuka keluarga Rasulullah SAW lainnya mengatakan;
لاَيَوْمَ كَيَوْمِكَ يَا اَبَاعَبْدِاللَّهِ
"Tiada hari seperti harimu, wahai Abu Abdillah."
Tak ada hari yang menyamai Asyura, dan tak ada pengorbanan sebesar pengorbanan Imam Husain as. Pengorbanan di hari Asyura adalah mahkota untuk Imam Husain as dan para pengikut setianya dan mahkota paling agung diantara sekian kebanggaan dalam Islam dari awal hingga akhir zaman. Tak seorangpun dapat disetarakan dengan mereka.
(Petikan pidato Rahbar pada peringatan Milad Imam Husain as dan Hari Garda Revolusi Islam tanggal 18 Februari 1991 M)
________________________________________
Saudara dan saudari yang mulia, nama Husain bin Ali as adalah nama yang sangat menakjubkan. Di mata umat Islam yang bermakrifat, nama ini memiliki keistimewaan yang menjadi magnet untuk hati mereka. Hanya saja, tak semua Muslim mengalami keadaan ini atau dapat menikmati makrifat kepada Imam Husain as. Dari sisi lain, tak sedikit orang yang walaupun bukan termasuk pengikut Ahlul Bait as tetapi mata mereka dapat berkaca-kaca dan hati mereka luruh menyaksikan keagungan nama Husain as. Allah SWT telah menanamkan daya tarik khusus pada nama Imam Husain as sehingga ketika nama Husain disebutkan, jiwa dan kalbu bangsa Iran dan bangsa-bangsa Muslim Syiah lainnya segera teraliri oleh getaran spiritual. Dan inilah makna daya tarik emosional yang bersemayam dalam wujud suci beliau.
Getaran ini sejak semula sudah dirasakan oleh kaum arif. Dalam rumah Nabi SAW, dalam rumah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, dan dalam lingkungan sekitar manusia-manusia besar, sebagaimana dapat dimengerti oleh setiap orang dari berbagai riwayat dan sejarah, wujud Imam Husain as memiliki keistimewaan yang mengundang rindu dan kecintaan. Ini berlanjut sampai sekarang. Dari segi makrifatpun, diri dan nama agung yang mengisyaratkan kebesaran pribadi pemilik nama ini juga demikian. Dalam kalimat-kalimat Imam Husain as tersemat berbagai makrifat yang teragung. Dalam doa Imam Husain as di hari Arafah, Anda dapat menyaksikan betapa layaknya doa ini disebut sebagai Zabur Ahlul Bait dan betapa doa ini sarat akan keindahan irama cinta dan kerinduan. Karena itu terlihat pula betapa sebagian doa putera beliau, Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as, adalah deskripsi dan elaborasi dari teks doa ayahandanya. Doa Imam Husain as adalah pokok, sedangkan doa Imam as-Sajjad as adalah cabangnya.
Keagungan doa Arafah serta kalimat-kalimat beliau seputar Asyura maupun lainnya mengandung makna dan spirit yang menakjubkan serta membentang sebagai samudera makrifat yang begitu agung, transenden, dan jarang bisa ditemukan dari peninggalan-peninggalan doa Ahlul Bait lainnya. Sedangkan dari aspek historis, nama dan kepribadian Imam Husain as juga merupakan satu episode dan naskah sejarah tersendiri yang tentunya bukan sejarah biasa atau sekedar deskripsi sebuah peristiwa, melainkan merupakan satu eksplanasi sejarah dan pendidikan tentang hakikat sejarah.
(Pidato Rahbar menyambut Hari Pasdaran pada tanggal 26 Desember 1995 M)
________________________________________
Pada diri manusia-manusia besar tentu terdapat tanda-tanda keagungan, dan tak syak lagi salah satu tanda terbesarnya ada dalam diri Abu Abdillah al-Husain as. Pada hakikatnya, bukan hanya manusia-manusia seperti kita yang memang hina dan serba kurang ini yang membutuhkan cahaya mentari Imam Husain as, tetapi bahkan semua makhluk di alam semesta ini -yang sebagian besarnya tidak kita ketahui-, termasuk arwah para wali dan malaikat muqarrabin. Sebagai putera Rasul SAW , putera Ali bin Abi Thalib as dan Fatimah az-Zahra as, Imam Husain as tumbuh dalam sebuah rumah yang menjadi nilai dan faktor tersendiri bagi proses kesempurnaan sosok manusia. Di situ beliau terbina di bawah curahan tarbiyah dan naungan spiritual dan surga ruhani.
Meski demikian, beliau masih belum puas dengan ini. Rasulullah SAW wafat ketika Imam Husain as masih remaja berusia delapan atau sembilan tahun, sedangkan Amirul Mukminin as wafat ketika Imam Husain as sudah menjadi pemuda dewasa berusia sekitar 37 tahun. Masa Amirul Mukminin as yang merupakan masa penuh ujian, jerih payah, dan perjuangan juga telah menjadi faktor yang menunjang kematangan dan kecemerlangan Imam Husain as di bawah didikan ayahandanya.
Untuk orang seperti kita, ini semua sudah lebih dari cukup sebagai bekal untuk berpulang kepada Allah SWT. Tapi Imam Husain as ternyata tak berhenti di situ. Di masa kepemimpinan kakaknya, Imam Hasan bin Ali as, Imam Husain as sebagai pengikut kakaknya terus melanjutkan gerakan agungnya dengan menunaikan segala kewajiban dan ketaatannya yang mutlak kepada sang kakak. Semua ini adalah tangga menuju kesempurnaan yang mesti diperhitungkan dalam setiap detiknya. Beliau lalu dihadapkan pada peristiwa kesyahidan kakandanya. Setelah itu beliau melanjutkan perjalanan hidupnya sampai sepuluh tahun - terdapat selang waktu sekitar sepuluh tahun lebih antara kesyahidan Imam Hasan as dan kesyahidan Imam Husain as-.
Perhatikan apa yang dilakukan Imam Husain as sepanjang sepuluh tahun sebelum tragedi Asyura itu. Betapa satu sisi kehidupan beliau selama itu sarat dengan ibadah, munajat, tawassul, iktikaf di Masjid Nabawi, dan penggemblengan ruhani, sedangkan sisi kehidupan beliau lainnya sarat sekali dengan perjuangan menyebarkan ilmu dan makrifat Islam serta perjuangan melawan penyelewengan. Penyelewengan saat itu menjadi bencana terbesar bagi Islam; bencana mafsadah yang datang bak air bah menerjang dan menenggelamkan pikiran umat Islam. Betapa saat itu semua kota, negeri, dan bangsa-bangsa Muslim mendapat instruksi agar melaknat pribadi terbesar dalam Islam. Orang yang dicurigai berpihak kepada kepemimpinan Ali bin Abi Thalib as dan keturunannya akan diburu dan dibunuh. Di tengah iklim sedemikian buruk ini Imam Husain as berdiri tegak laksana gunung dan mengungkap semua tabir penyimpangan. Kalimat, ucapan, dan pesan-pesan beliau kepada para ulama saat itu yang beberapa diantaranya terabadikan dalam sejarah menunjukkan kegigihan beliau dalam bergerak menuju keagungan.
Beliau menunaikan kewajiban amar makruf nahi munkar dalam bentuknya yang terbaik. Dalam rangka ini beliau antara lain melayangkan surat kepada Mu'awiyah - seingat saya surat ini justru diriwayatkan oleh para sejarawan Sunni, bukan Syi'ah. Kalaupun Syiah meriwayatkannya maka sumbernya berasal dari sejarawan Sunni-. Surat itu ikut mengungkapkan betapa kepergian Imam Husain as dari Madinah setelah berkuasanya Yazid bin Mu'awiyah adalah dalam rangka menunaikan kewajiban amar makruf nahi munkar. Beliau menegaskan;
اُرِيْدُ اَنْ آمُرَ بِالْمَعْرُوْفِ وَانََْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ
"Aku hendak menunaikan amar makruf nahi munkar."
Di situ terlihat bagaimana Imam Husain as menjadi sosok manusia yang bukan hanya giat melakukan penyucian ruhani yang bersifat pribadi, tetapi juga gigih di kancah kebudayaan dimana beliau berjuang melawan penyimpangan, menyebarkan ajaran Ilahi yang sejati, mendidik murid agar menjadi manusia-manusia besar, dan gigih di kancah politik dimana beliau menunaikan amar makruf nahi munkar. Demi menyempurnakan pembangunan dirinya, beliau telah bermujahadah di tiga kancah tersebut.
Saudara dan saudari yang mulia, Imam Husain as adalah teladan dan itu semua adalah riwayat beliau sebelum peristiwa Karbala. Tak ada jeda dalam proses perjuangan beliau untuk menjadi manusia yang progresif dan sempurna. Ini beliau lakukan di saat musuh selalu mengintai jeda sebagai celah untuk melakukan infiltrasi dan ofensif. Beliau memperlihatkan bagaimana serangan kita bertubi-tubi adalah jalan terbaik untuk menghentikan gempuran musuh dan memporak-porandakan barisan mereka. Kemajuan kita terletak pada intensitas gempuran kita terhadap musuh.
Sebagian orang mengira bahwa menggempur musuh artinya tak lain adalah mengangkat senjata atau mengumandangkan teriakan politik. Memang, tindakan ini sangat diperlukan dalam banyak kasus. Tapi, jangan kira bahwa memikirkan isu kebudayaan artinya semata-mata adalah menyampaikan teriakan ke telinga musuh. Ini memang perlu, tapi bukan berarti hanya demikian. Melainkan juga bermakna perjuangan terbesar kita dalam bentuk upaya membina kemanusiaan dalam diri kita sendiri, dalam diri anak anak-anak kita, kerabat dan handai tolan kita serta dalam tubuh umat Islam.
Musuh selalu mengintai keadaan untuk dapat menjebol benteng pertahanan kita. Musuh kita yang secara lahiriah terlihat begitu besar dan dengan wibawanya yang keropos semuanya adalah kaum arogan Barat dengan budaya yang bercorak jahiliyah dan berpola thaghut. Musuh seperti ini sejak dulu sudah ada. Mereka berkeliaran mencari-cari peluang untuk menguasai sumber-sumber perekonomian, kebudayaan, kemanusiaan, dan politik. Tapi sekarang mereka kian dihadapkan pada kendala besar yang berasal dari Islam yang sejati, bukan Islam yang hanya sekedar klaim. Islam yang hanya sekedar klaim bukannya tidak ada. Ada orang-orang yang mengaku Muslim, tapi mereka satu meja makan dengan musuh, berkutat di pusaran musuh, dan mengikuti arah telunjuk musuh. Orang seperti ini sudah jelas tidak dikhawatirkan musuh.
Benteng yang sesungguhnya adalah Islam yang sejati, Qur'ani, dan sejalan dengan firman Ilahi;
وَلَن يَجْعَلَ اللّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً
"Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman." (QS.4.141)
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ
"Tiada ketatapan hukum kecuali hak Allah." (QS.6.57)
Secara lebih fokus lagi, Islam sejati adalah Islam yang sejalan dengan firman Allah SWT;
إِنَّ اللّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ
"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. " (QS.9.111)
Islam Andalah yang membuat raga Anda penuh dengan goresan luka perjuangan. Sekujur tubuh Anda dari kepala hingga kaki terpahat oleh jejak-jejak perang dan jihad di jalan Allah SWT; baik Anda yang berstatus veteran maupun Anda yang berstatus keluarga syuhada, atau Anda yang dulu ikut berperang dan kini -alhamdulillah- pulang dalam keadaan masih hidup dan segar bugar. Anda telah menggelapkan mata musuh sehingga Andalah yang menjadi kendala utama mereka. Musuh selalu mengintai dan tak pernah mengabaikan kendala ini. Kita harus mengecohkan mereka, mengacaukan jebakan dan trik mereka. Upaya ini harus dilakukan, tetapi yang lebih penting dari segalanya adalah membenahi front yang ada dalam diri kita sendiri. Semua ini harus kita lakukan sebagaimana Imam Husain as junjungan kita telah melakukan amar makruf dan terjun ke kancah politik dimana ketika situasi memang urgen beliau pasti menegaskan sikap dan pendirian politiknya terhadap kekuatan arogan. Demikian pula di bidang kebudayaan yaitu, pembenahan diri, mentalitas, pikiran, dan budi pekerti yang merupakan kewajiban bagi setiap orang yang meneladani Imam Husain as. Kita beruntung karena kita semua adalah bangsa yang patuh kepada Imam Husain dan mengagungkannya. Bahkan, tak sedikit non-Muslim yang juga menghormati beliau.
Sekarang kita sampai pada masalah Karbala yang dari sisi lain memang sangat esensial dan juga merupakan pejaran bagi setiap orang yang ingin mencontoh Imam Husain as. Saudara dan saudari yang mulia! Anda tahu tragedi Karbala berlangsung tak lebih dari sekitar setengah hari. Sejumlah orang, kurang lebih 72 orang, gugur syahid. Padahal banyak sekali syuhada di dunia ini. Secara kronologis memang kecil, tapi tragedi ini menjadi peristiwa yang sangat besar dan sedemikian berpengaruh dalam jiwa manusia. Ini tak lain karena kobaran spirit yang terkandung dalam peristiwa ini. Pembunuhan anak kecil cukup sering terjadi di mana-mana. Di Karbala hanya ada satu balita berusia enam bulan yang terbunuh, mungkin di satu peristiwa ada orang yang melakukan pembunuhan massal di satu tempat dan membunuh anak kecil bahkan sampai ratusan orang.
Namun, isu Karbala mengemuka bukan dengan tinjauan superfisial, melainkan dengan tinjauan esensi dan spiritnya. Duduk persoalannya bukan terletak pada adegan dimana Imam Husain as sedang berhadapan dengan sekelompok laskar atau suatu golongan, walaupun jumlahnya ratusan kali lebih besar dari jumlah orang yang ada di kubu beliau. Duduk persoalannya adalah konfrontasi Imam Husain as dengan dunia penyimpangan dan kezaliman yang kebetulan memiliki segalanya termasuk uang, kekuasaan, syair, ahli hadist, dan agamawan. Mengerikan sekali! Siapapun pasti gentar menyaksikan kedahsyatan dunia kezaliman seperti ini. Tapi langkah dan denyut jantung Imam Husain as tak mengenal kata gentar itu. Beliau tak pernah merasa kerdil dan karena itu beliau tidak gentar maju berlaga seorang diri. Ini adalah karena keagungan kebangkitan untuk Allah (qiyam lillah).
Tindakan Imam Husain as di Karbala bisa disetarakan dengan apa yang dilakukan kakeknya, Nabi Besar Muhammad SAW, pada hari pengutusan (bi'tsah). Sebagaimana Rasul SAW pada hari itu tampil seorang diri di depan sebuah dunia, Imam Husain as di Karbala juga tampil seorang diri di depan sebuah dunia. Keduanya sama-sama berdiri tegak dan maju ke depan tanpa sedikitpun rasa takut dan gentar. Gerakan Nabawi dan gerakan Husaini adalah gerakan pada satu poros dan arah yang sama. Dan inilah keagungan makna yang terkandung dalam sabda Baginda Rasul SAW;
حُسَيْنٌ مِنّىِ وَ اَناَ مِنْ حُسَيْن
"Husain adalah bagian dariku dan aku bagian dari Husain."
Di malam Asyura Imam Husain as berkata; "Menjauhlah kalian dari sini dan bawalah anak-anakku. Mereka (musuh) hanya ingin memburuku." Seandainya orang-orang yang dipersilahkan pergi oleh Imam Husain as itu bersedia pergi membiarkan beliau sendirian atau hanya ditemani sepuluh orang, apakah keagungan kebangkitan beliau akan berkurang? Tidak. Keagungan ini tetap akan utuh dan tak akan berkurang sedikitpun. Begitu pula seandainya yang menemani beliau bukan 72 orang, melainkan 72.000 orang. Apapun yang terjadi, keagungan ini tetap akan utuh karena esensinya adalah ketegaran beliau dalam melawan tekanan sebuah dunia yang kejam dan arogan, yaitu tekanan yang pasti menggentarkan manusia biasa maupun manusia di atas rata-rata semisal Abdullah bin Abbas dan para pemuka Quraish lainnya termasuk Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Umar, Abdurrahman bin Abu Bakar dan putera-putera para sahabat besar Nabi lainnya. Mereka semua tertekan secara mental.
Di Madinah ada banyak sahabat Nabi. Mereka bukannya orang yang tak punya martabat. Sebaliknya, seperti terlihat dalam tragedi Harrah, Madinah, yang diwarnai pembunuhan massal pada peristiwa serangan Muslim bin Uqbah terhadap Madinah setahun setelah tragedi Asyura, mereka adalah para pendekar gagah berani yang tak gentar menyongsong perang. Jangan kira mereka adalah orang-orang penakut. Namun, keberanian berlaga di medan pertempuran berbeda dengan keberanian menghadapi sebuah dunia. Keberanian yang terakhir inilah yang dimiliki Imam Husain as dan dalam rangka inilah beliau bergerak. Dan inilah sebab mengapa saya berulangkali menegaskan bahwa gerakan Imam Khomeini ra adalah gerakan Husaini. Gerakan Imam Khomeini ra di zaman kita ini adalah gerakan yang mengakar pada gerakan Husaini. Bisa jadi sebagian orang mengatakan bahwa Imam Husain as kehausan dan gugur di Karbala, sedangkan Imam Khomeini ra justru meraih pemerintahan dan dapat hidup secara lebih terhormat. Tapi mereka perlu tahu bahwa kriterianya bukan ini, melainkan keberanian menghadapi sebuah kekuatan raksasa yang menguasai segalanya. Seperti kita sebutkan tadi, musuh Imam Husain as adalah kekuatan yang memiliki superioritas uang, kekuasaan, pasukan, juru agama, dan orang-orang berdada busung.
Saudara dan saudari sekalian, Andapun juga demikian adanya. Karbala akan terus membentang hingga hari kiamat. Karbala tak terbatas hanya pada luas area sekian ratus meter persegi. Sekarangpun juga merupakan hari Asyura, sebab Republik Islam Iran sedang berhadapan dengan seluruh kekuatan arogan dan despotik dunia. Memang, kita harus akui zaman kita sekarang lebih baik dari zaman Imam Husain as. Di tengah kegelapan era kita sekarang masih terlihat berkas-berkas cahaya. Di sana sini masih ada orang-orang, masyarakat, dan bangsa yang tercerahkan. Namun demikian, hegemoni musuh Islam, musuh revolusi Islam, dan musuh permata kebenaran yang ada di tangan Anda ini telah mewarnai seluruh jagad. Lawanlah hegemoni ini agar budaya kebenaran bisa membumi dan mewarnai seluruh masyarakat dunia, termasuk masyarakat Barat dan masyarakat yang kebaratan-baratan serta sekelompok kecil saudara setanah air Anda sendiri yang termakan oleh klaim-klaim Barat. Musuh gemar menebar klaim. Hanya dalam sekali pertemuan saja dengan mudahnya mereka bangkit dan melontarkan dakwaan terhadap Republik Islam Islam sehingga Iran menjadi persis seperti Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as yang dulu difitnah sebagai orang yang tidak pernah melaksanakan solat!
(Petikan pidato Rahbar pada peringatan Hari Garda Revolusi Islam/ Sepah-e Pasdaran tanggal 14 Desember 1996 M)
________________________________________
Kecemerlangan pribadi Imam Husain as memiliki dua dimensi. Satu dimensinya adalah jihad, syahadah, dan gelora yang telah beliau bentangkan ke dalam lembaran sejarah dan kemudian menjadi sumber energi yang kekal dan dahsyat sebagaimana yang sudah Anda ketahui bersama. Dimensi lainnya adalah kejernihan ruhani dan spiritualitas beliau sebagaimana yang tercermin secara jernih dan mencengangkan terutama dari Doa Arafah. Kita jarang sekali menemukan doa sedahsyat Doa Arafah dalam menyuguhkan ketajaman rintihan, keindahan susunan kata, dan kefanaan di depan Zat Rububiah Yang Maha Suci. Doa Arafah sungguh merupakan doa yang luar biasa.
Doa lain yang serupa dengan Doa Arafah yang juga dicaba di hari Arafah terdapat dalam Sahifah Sajjadiyah yang bersumber dari putera beliau, Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as. Saya pernah mencoba membandingkan doa Arafah dengan doa serupa di Sahifah Sajjadiyah. Hasilnya adalah saya selalu berkesimpulan bahwa doa Imam Sajjad as lebih menyerupai penjelasan untuk Doa Arafah. Doa Arafah adalah naskah utamanya, sedangkan Doa as-Sajjad adalah komentarnya. Yang pertama adalah intinya, sedangkan yang kedua adalah cabangnya. Anda juga dapat menyaksikan dimensi spiritual Imam Husain as dari khutbah beliau di Mina di depan para pemuka umat Islam dan para tabi'in. Saya lupa kapan persisnya khutbah itu beliau kemukakan. Seingat saya khutbah itu terjadi pada tahun terakhir masa hidup beliau. Yang jelas waktunya tercatat dalam kitab-kitab sejarah dan hadits.
Kita kembali ke masalah Asyura dan Karbala. Kita lihat bahwa walaupun Karbala adalah medan laga dan tempat berkobarnya semangat perang, tapi dari detik pertama hingga detik terakhir dimana wajah suci Imam Husain as terhempas ke pasir panas Karbala beliau berucap;
اِلَهِى رِضاً بِقَضَائِكَ وَ تَسْلِيْماً لِأَمْرِكَ
"Ilahi, aku rela atas ketetapan-Mu dan pasrah kepada perintah-Mu."
Beliau selalu membekali diri dengan zikir, munajat, dan tawassul. Ketika meninggalkan kota suci Mekkah beliau berseru;
مَنْ كَانَ فِيْناَ بَاذِلاً مُهَجَتَهُ مَوْطِناً عَلىَ لِقَاءِ اللَّهِ نَفْسَهُ فَلْيَرْحَلْ مَعَنَا
"Barangsiapa ingin bersama kami demi menyerahkan jiwanya untuk berjumpa dengan Allah maka silahkan bergerak bersama kami."
Beliau memulai gerakannya dengan doa, tawassul, janji perjumpaan dengan Allah, dan spirit yang tertuang dalam Doa Arafah dan mengakhirinya di tempat pembantaian dengan ucapan ""Ilahi, aku rela atas ketetapan-Mu dan pasrah kepada perintah-Mu." Ini membuktikan bahwa perjalanan Asyura juga merupakan perjalanan irfani. Hikayat Asyura adalah hikayat perang dan keterbunuhan, sebuah episode semangat dengan gelegar yang luar biasa. Tetapi jika Anda mengurainya secara lebih mendalam, maka akan terlihat betapa Asyura juga memancarkan cahaya irfan, maknawiyah, munajat, dan spirit Doa Arafah. Dengan demikian, ini adalah satu dimensi lain dari kepribadian Imam Husain as yang juga mesti diperhatikan di balik dimensi puncak keagungan jihad dan syahadah. Dan inilah poin yang ingin saya garis bawahi.
Mungkin bisa dipastikan bahwa dimensi spiritual, irfan, tawassul, kefanaan dalam kehendak Sang Tercinta dan Zat Maha Suci inilah yang membuat Asyura menjadi peristiwa sedemikian agung dan kekal. Dengan kata lain, dimensi pertama yaitu jihad dan syahadah adalah hasil dari dimensi kedua yaitu spirit irfani dan maknawi. Banyak orang beriman yang berjihad dan kemudian gugur syahid dengan segala kesempurnaannya. Namun, ada satu bentuk kesyahidan tersendiri yang melampaui spirit keimanan dan memancar dari kerinduan yang membara dalam meniti jalan Allah sehingga tenggelam dan fana dalam Zat dan sifat-sifat Ilahiah. Mujahadah sedemikian rupa jelas menemukan rasa, kenikmatan, dan kepuasan tersendiri dalam diri seseorang.
(Petikan khutbah Rahbar menyambut Hari Garda Revolusi/Pasdaran tanggal 4 Desember 1997 M)
________________________________________
Keutamaan dalam diri Abu Abdillah al-Husain as memiliki berbagai karakter yang masing-masing tentu memerlukan pembahasan dan penjelasan yang cukup panjang. Namun, jika kita hendak menyebutkan sebagian diantaranya, maka salah satunya adalah "keikhlasan". Keikhlasan artinya ialah kepekaan terhadap kewajiban agama dalam bentuk yang steril dari segala kepentingan pribadi maupun kelompok serta bebas dari motif-motif materi. Karakter menonjol lainnya adalah "keyakinan kepada Allah SWT". Jika ditinjau secara fisik, kebangkitan Asyura di Karbala hanyalah kobaran sesaat yang cepat atau lambat akan meredup dan padam. Tinjauan fisik inilah yang dilihat oleh penyair Farazdaq dan orang-orang lainnya yang datang dari Kufah dan menasihati Imam Husain as, tetapi tidak dilihat oleh beliau yang melihat dengan penginderaan Ilahiah. Mereka melihatnya demikian karena secara fisik memang itulah yang terlihat. Namun, keyakinan kepada Allah berkata lain dan memberi kepastian bahwa kalimat yang hak dan benar pada akhirnya akan menang. Yang menjadi prinsip adalah bahwa niat dan tujuanlah yang mesti tercapai. Ketika seseorang sudah ikhlas, maka urusan pribadi baginya adalah masalah yang sangat sepele.
Seorang ahli suluk dan irfan menulis dalam sebuah surat bahwa seandainya segala perilaku dan perjuangan yang telah dilakukan oleh Nabi Besar Muhammad SAW dinisbatkan kepada orang lain, apakah beliau akan kecewa? Apakah beliau akan enggan melakukan semua itu karena nanti nama orang lain yang akan besar? Jelas tidak demikian, sebab yang penting adalah tujuan, bukan nama dan status pribadi. Bagi seorang mukhlis, "ego", "aku", dan "diri sendiri" sama sekali tidak penting. Selain ikhlas, Imam Husain as juga percaya mutlak kepada Allah SWT. Beliau yakin bahwa Allah SWT pasti akan memenangkan tujuan beliau karena Dia telah berfirman;
وَ اِنَّ جُنْدَناَ لَهُمُ الْغَالِبُوْنَ
"Dan sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang."(QS.37.173)
Allah SWT berfirman demikian walaupun banyak mujahidin yang berguguran dalam berjuang di jalan Allah SWT.
Karakteristik ketiga ialah "memahami situasi". Imam Husain as tidak meleset dalam memahami situasi. Sebelum tragedi Karbala pecah, 10 tahun beliau mengemban tanggung jawab imamah. Selama itu di Madinah beliau menjalani berbagai kesibukan lain yang tidak berkaitan dengan masalah Karbala. Namun, begitu tersedia kesempatan untuk menunaikan tugas penting itu, beliau segera mendeteksinya sebagai momentum yang jangan sampai terabaikan. Tiga karakter ini sangatlah determinan untuk segala zaman, termasuk di era revolusi Islam Iran. Seperti Anda ketahui, Imam Khomeini ra sedemikian tinggi derajat yang telah diberikan Allah SWT kepadanya sehingga beliau tetap dijaga, dibesarkan, dan diabadikan oleh-Nya walaupun semua aktor kekuatan besar materi dunia berambisi untuk menyingkirkan, mengecilkan, dan menjadikan beliau sebagai sosok yang akan dilupakan orang. Allah SWT telah menggolongkan beliau dalam kategori firman Ilahi;
وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًّا
"Dan Kami telah mengangkatnya ke derajat yang tinggi." (QS.19.57)
Ini adalah karena tiga faktor tadi : Pertama, keikhlasan yang telah membuatnya tidak mencari sesuatu yang bersifat pribadi. Kedua, keyakinan kepada Allah SWT yang telah membuatnya percaya bahwa tujuan pasti akan tercapai -tentu beliau juga percaya kepada hamba-hamba Allah. Ketiga, pengetahuan terhadap tuntutan situasi sehingga mengerti kapan harus bertindak, kapan harus bicara, kapan harus menyampaikan isyarat, dan kapan harus bergerak.
(Petikan pidato Rahbar pada peringatan Hari Garda Revolusi tanggal 23 November 1998 M)
________________________________________
Perawi yang meriwayatkan peristiwa Asyura dan kemudian tersebar dari kitab ke kitab mengatakan;
فَوَاللَّهِ مَا رَأَيْتُ مَكْثُوْرًا اَرْبَطُ جَأْشًا
"Demi Allah, aku tidak pernah melihat orang seteraniaya dan setegar dia (Husain as)."
Perawi merasa tak pernah melihat atau mendengar orang sedemikian pedih, kehilangan anak, kerabat, sahabat, dan harta bendanya seperti Imam Husain as. Tetapi di saat yang sama, perawi yang sudah banyak terjun dan mengamati peperangan, fenomena sosial dan politik serta berbagai ranah kehidupan lainnya juga mengaku tidak pernah melihat orang sedemikian pedih dan besar bencananya tetapi sedemikian tegar dan teguh hatinya seperti Imam Husain bin Ali as sehingga mencerminkan kebesaran tekad, kehendak, dan tawakkalnya kepada Allah SWT. Ini jelas merupakan anugerah kehormatan dari Allah SWT. Hakikat ini telah dibentangkan Imam Husain as di atas lembaran sejarah agar manusia memahami bahwa penguasa yang korup harus dilawan agar masyarakat terbebas dari pembusukan, kebodohan, belenggu, dan diskriminasi. Semua harus berjuang menciptakan masyarakat sedemikian rupa.
(Petikan pidato Rahbar di depan para peziarah makam Imam Ali Ridha as dan warga kota Masyhad tanggal 25 Maret 2000 M)
________________________________________
Husain bin Ali as adalah manifestasi keagungan yang sesungguhnya serta merupakan simbol yang sempurna dari kebanggaan yang sejati, baik di mata kita sebagai manusia yang terbelenggu oleh lingkaran materi dunia maupun di mata hamba-hamba salih di alam malakut.
(Petikan pesan Rahbar menyambut hari Nouruz yang tiba bersamaan dengan hari-hari Asyura tanggal 20 Maret 2002 Masehi)
________________________________________
Imam Hasan as dan Imam Husain as disebut sebagai "pemuka para pemuda penghuni surga', padahal keduanya bukanlah manusia yang selalu muda, melainkan pemuda yang pada akhirnya juga mengalami masa tua. Ini antara lain berarti bahwa masa muda keduanya harus menjadi contoh bagi para pemuda di segala tempat dan zaman, sebagaimana masa muda Rasulullah SAW dan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as juga demikian.
Post a Comment